Revised Chapter 2
Mengapa bus menuju pembuktian harus
berangkat lebih pagi dari jam sekolah? Tiga jam lebih pagi. Karena bus-bus yang
mereka gunakan kecepatannya jauh lebih lambat dari kendaraan-kendaraan di
negara lama dulunya. Rin masih berusaha melawan kantuk dengan segelas besar
kopi milik ayahnya. Persediaan kopi Tri-City dibatasi karena sulitnya mengolah
dan menanam tanaman kopi dalam jumlah yang cukup disamping makanan pokok.
Persediaan kopi itu mungkin hal yang
sangat berharga bagi ayahnya, tapi kali ini tidak ada yang melarang Rin untuk
meminumnya.
“Kalau ayah memang keberatan, tidak
apa-apa. Kita bisa berbagi segelas ini” Rin meletakkan gelas itu di tengah meja
makan. Ayahnya menelan ludah, membayangkan rasa cairan hitam lezat itu.
“Tidak, kau saja. Ini hari
pembuktian, hari yang besar” Ibunya berdiri di belakangnya, memberi ‘tatapan
maut’ pada ayahnya agar merelakan segelas kopi yang diminumnya.
Rin menghadap ke arah yang sama
dengan ibunya, tidak sempat melihat tatapan itu. Ia menaruh buku fiksi usang
yang terbit pada tahun 1978, dan ditulis pada 1920-an di atas meja. Pikirannya
terlalu penuh untuk membaca novel melayu itu. Ia suka buku, semua jenis buku.
Mungkin karena membaca memenuhi pikirannya dengan kosakata daripada
Suara bel dari bus di depan gedung
itu memecah sepinya subuh, Rin berdiri dari kursinya dan mengambil tas
keperluan juga jaket sekolahnya yang berwarna hijau tua. Ibunya tiba-tiba
memberi pelukan khawatir, gestur yang jarang ditunjukkan dalam keluarganya.
“Hati-hati” Rin tersenyum setengah
bangun saat ibunya menepuk pundaknya lembut. Selanjutnya giliran ayahnya. Rin
tidak pernah begitu dekat dengan pria setengah botak itu. Mereka bersalaman
tangan ala orang tua dan anak.
“Jadi... Lena belum telefon?” Rin
memecah kecanggungan. Ayahnya menggeleng, tiba-tiba maju selangkah untuk
memeluknya. Tidak selembut ibunya, tapi pelukan adalah pelukan. Tidak pernah
diingatnya kalau keluarga ini bisa sedekat itu.
Sebuah pemikiran aneh, Rin merasa
seperti anak kecil yang mendapat gula-gula. Hal ini sangat jarang terjadi
padanya. Jika dihitung berapa kali ia tahu orang tuanya memeluknya, hitungan
itu hanya sampai ke angka tiga atau empat.
“Aku harus pergi, aku akan pulang minggu
depan, kalian tahu itu” Rin mencoba menghapus kecemasan di ekspresi ibunya. Apa
yang baru saja dikatakannya merupakan opini atau hipotesis belaka, bukan fakta.
Ia tahu itu dalam dalam.
“Ya, jangan lupa gosok gigi sebelum
tidur” Ibunya membukakan pintu untuknya. Hal ironis untuk dikatakan sebelum
anaknya berangkat untuk pembuktian, Rin bisa saja tertawa tapi kali ini tidak
karena nada yang dipakai ibunya membuatnya ikut cemas.
Perjalanan dari lan\tai letak
apartemennya menuju bus terasa lebih dingin dari biasanya. Diikuti dengan
peserta lain yang tinggal di gedung yang sama.
“Rin-Rin!” Dennis menyapa sebelum
menguap. Dennis dan Frida berdiri di depan pintu bus, menunggu sepupu mereka
yang tak kalah mengantuknya masuk ke dalam mesin transportasi lamban itu.
“Dennis... Frida...” Rin memberi mereka
salaman khas mereka bergantian lalu masuk ke dalam bus bertingkat berwarna
hitam itu. Seketika udara dingin terasa meninggalkan tubuhnya, penghangat
ruangan rupanya salah satu fitur pada bus tua itu, masih berfungsi pula.
“Ibu tadi sedikit aneh, ya Den?”
Frida menemukan tempat duduk untuk tiga orang lalu duduk dengan lebih tidak
teratur dari biasanya.
“Ya, Ibu kami tadi benar-benar
menangis. Menangis sungguhan, Rin. Dengan air mata, dan ingus pun” Dennis
mengajaknya masuk dalam diskusinya dengan saudara kembar fraternalnya.
“Ingus?” Rin mengerutkan dahi, tapi
hampir tertawa.
“Menjijikkan, Den” Frida bersandar
pada kursinya mencoba tidur sejenak. Tidak biasa mereka bangun sepagi itu.
Satu-satunya kejadian dimana mereka bangun lebih pagi dari pada pukul enam pagi
adalah waktu seluruh kota dilanda mati lampu tiba-tiba untuk pertama kali.
Pembangkit listrik, seperti infrastruktur mereka yang lain tidak dalam kondisi
sebagus waktu mereka pertama kali dibangun.
“Ibuku juga tadi sedikit aneh,
ayahku juga. Mereka... memelukku” Rin melanjutkan ke kalimat terakhir seolah
kata itu terlarang untuk dikatakan. Lebih tepatnya, kata itu terasa menyangkut
di antara langit-langit mulutnya, menunggu untuk keluar.
“What? Serius? Paman Herman?
Memeluk?” Frida berhenti menyandar ke belakang, penasaran. Sepertinya yang Rin
bicarakan merupakan fenomena langka dalam keluarganya.
“Ya, tapi tanpa ingus” Rin membuat
lelucon di sela-sela kantuk mengajaknya untuk menutup mata lebih lama.
Ketiganya tertawa singkat, lalu menjadi diam saat kantuk memenangkan mata
Dennis dan Frida.
Beberapa anak lain juga tertidur,
membawa suasana hening menenangkan selaras dengan jalannya bus yang lembut
meski jalanan yang dilalui sudah pecah-pecah aspalnya. Maklum karena aspal itu
tidak pernah diganti sejak runtuhnya negara lama, dan aspal merupakan bagian
dari produksi minyak bumi (habis). Rin selalu penasaran tentang seperti apa
negara lama sebelum terpecah belah.
Ia ingat waktu di sekolah, kelasnya
diajarkan tentang sejarah, salah satunya adalah tentang negara lama. Ada satu
kata yang sangat aneh dan lucu baginya, ‘pop’ adalah kata itu. Sebuah video
klip musik yang tidak memiliki hubungan baik dengan usianya, ditunjukkan pada
seluruh kelasnya oleh guru favoritnya. Video itu dibuat empat puluh tahun lebih
bahkan lima puluh tahun lalu, sebelum negara lama terlalu kacau untuk ‘pop’.
Orang-orang bertubuh kurus dan kencang, memakai pakaian heboh berwarna-warni
dan terlalu banyak bahan kimia (make-up) di wajah mereka. Menari gerakan
synchronized dan bernyanyi, nyanyiannya tidak begitu mengesankan. Yang paling
menonjol bagi Rin adalah ke-hedonisme-an yang video klip itu pancarkan. Ia
menghela, lelah berpikir lalu menyerahkan perhatiannya kembali ke jendela.
Pemandangan di luar jendela berubah
perlahan. Dari gedung-gedung apartemen yang tidak bercat dan mulai retak di
sana-sini, lalu gedung-gedung agrikultur dan greenhouses dimana Tri-City
menumbuhkan makanan, obat-obatan dan menernak hewan, kemudian filter udara yang
menjulang seperti tiang-tiang tinggi. Tingginya filter-filter di tengah
reruntuhan itu menyebabkan bayangan-bayangan memanjang di sekitarnya. Sekilas
melewati gedung pertama dan panel-panel surya pembangkit listrik, lalu pada
tengah-tengah hamparan reruntuhan dan panel surya, bus berhenti.
Setahunya, tidak ada pemilik
kendaraan pribadi di Tri-City, jadi dari mana kemacetan itu? Tidak ada
kendaraan pribadi kecuali sepeda untuk tiap-tiap orang yang mengajukan
permintaan untuk sepeda. Kebanyakan meminta sepeda pada usia tujuh atau
delapan.
Deretan-deretan bus dari semua Sub
City sedang dalam posisi stagnant, seperti menunggu. Mesin bus itu dimatikan.
Rin mengerutkan dahi lalu melihat jam tangan pada pergelangan Frida. 07:18
terbaca berkedip-kedip. Sebuah bus berwarna hijau yang lebih kecil berhenti di
suatu titik di antara panel-panel surya yang tersebar.
Banyak anak yang terlalu mengantuk
untuk peduli dan beberapa bangun dari tidur singkat mereka. Rin melihat keluar
jendela untuk hal yang tidak biasa, dan tidak menemukan satu pun kecuali bus
hijau dan sejumlah pria dan wanita berseragam hitam dan putih mendekati busnya
dan bus-bus lain di depan bus itu.
Tangannya secara refleks
mengguncang-guncang kedua sepupunya, membuat mereka mengeluh dan mengucek mata
dengan cepat.
Bagaikan refleks, mereka bertiga merapikan
cara duduk mereka dan merapatkan jaket hijau mereka. Pria berkacamata
berseragam hitam dan putih memasuki bus mereka, langkah kaki bersepatu barunya
memenuhi bus hening itu.
“Alma! Alma! Al Al Alma...!” Arvin
menggoyang-goyang kakaknya dari tidurnya. Gadis itu bergeming, hanya
mengecapkan mulutnya beberapa kali dalam kondisi masih tertidur. Arvin berlari
ke seberang kamarnya, menyiapkan segala hal yang diperlukan di pembuktian
baginya dan Alma juga.
Bel bus untuk mengantar mereka
berbunyi, menandakan bus itu akan berhenti di depan gedung. Ayah mereka hanya
dapat membantu menyiapkan, tidak berdaya membangunkan putrinya yang sedang
tenggelam di dunia mimpi tanpa kemungkinan mudah bangun.
“Seharusnya aku bangun lebih pagi,
tapi aku tidak bisa membangunkan kalian. Jadi maaf, ok? Hapus kerutan di dahimu
itu, Vin” Ayahnya mengusap matanya dengan punggung tangan. Arvin hanya
mengangguk dan kembali berjuang membangunkan Alma.
“Hanya saja pembuktian akan memakan
banyak energi, kalian akan butuh banyak tidur” Lanjut pria yang mulai tumbuh
rambut abu-abunya itu. Yang ia baru saja katakan hampir saja melewati batas
tentang peraturan transparency menyangkut pembuktian penduduk.
“Ya, aku tahu, yah. Tidurmu tidak
terganggu bukan?” Arvin bisa saja mengatakannya dalam nada sarkastik, tapi
tidak. Keluarganya terlalu dekat dan berharga buatnya untuk sarkasme. Arvin
,Alma dan ayah mereka memang sangat dekat sejak ibunya dikeluarkan dari kota
karena memberontak tentang sesuatu yang menyangkut hubungan Tri-City dengan
daerah pemberontak negara lama yang lain, bukan topik yang ia ingin cari tahu.
Ia menghembuskan napas berat memikirkan itu.
“Apa? Apa? Jam berapa?” Alma hampir
berteriak saat bangun, membuat Arvin terkejut dan ikut berteriak. Ia melempar
tas berwarna hitam-biru dan sebuah jaket berwarna biru tua pada kakaknya, lalu
dengan bingungnya berputar sekitar dapur, mencari sesuatu.
Dahinya mulai berkeringat meskipun
hawa subuh masih menggelitik kulitnya dengan dingin. Tangannya sedang frantic
membuka dan menutup laci-laci yang dapat digapainya, ada dua laci yang harus
digapai sambil menjinjit. Ia mengerang kesal dibalik deretan gigi sehatnya yang
ditutupnya rapat.
“Vin” Ayahnya menepuk pundaknya lalu
memberinya sebuah buku tulis yang penuh dengan tempelan-tempelan kertas foto
copy, dan tulisan-tulisan keritingnya. Ia menghela napas lega lalu memeluk
ayahnya erat-erat, berterima kasih dalam bentuk fisik. Ayahnya membalas pelukan
itu, hal yang biasa mereka lakukan. Alma muncul dari dalam kamar tifur yang
dibagi dua itu, lalu memberi ayah dan adiknya sebuah bear hug.
Bel bus itu berbunyi lagi, tanda
keterlambatan mereka.
“Jaga diri kalian” Ayah memegang
tangan putrinya erat-erat, tidak ingin melepas dalam pikirannya. Bel itu
berbunyi lagi, Alma mendesah kesal lalu mencium pipi ayahnya dan berlari keluar
pintu. Arvin hanya bisa mengikuti dengan kecepatan yang lebih pelan, sesekali
melihat ke belakang ka arah ayahnya.
Tanpa diragukan, ia takut. Takut
karena pembuktian tepat di ujung hidungnya, dan sebagian takut dengan semua
perasaan campur aduk yang mendidih dan terasa berputar-putar di perutnya.
“Kau akan baik-baik saja, Arvin. Berangkatlah”
Pria itu memaksakan senyum ke wajahnya, memalsukan rasa aman pada putranya yang
mulai berjalan lebih cepat, tapi masih menghadap padanya. Bel itu berbuni lagi.
Arvin menatap wajah ayahnya,
tersenyum lalu berlari ke arah yang sama dengan Alma. Di dalam pikirannya ia
berteriak, telah mengetahui rasanya kehilangan anggota keluarganya karena
kebijakan tentang Evicted Citizens ( kebijakan yang mengatur pengusiran
penduduk yang melanggar peraturan atau gagal dalam pembuktian).
Melihat Alma berlari kikuk menuju
bus, dengan tas terisi penuh hingga titik berlebihan di punggung Alma dan jaket
merah kakaknya yang terbalik, ia berpikir apa yang ada dalam pikran gadis itu. ‘Mungkin
tentang tidur’ pikirnya dangkal.
“Terima kasih sudah menunggu” Arvin
mengangguk sopan pada sopir bus yang terlihat sama mengantuknya dengan
anak-anak di dalam bus itu. Wanita di belakang setir itu mengangguk balik dan
bibirnya menekuk ke atas di bagian ujung-ujungnya, hanya beberapa milimeter
senyum.
“Erik...” Alma mendahuluinya duduk
di sebelah anak laki-laki yang secara mengejutkan, masih terlihat segar dan
sedikit rapi di jam tidak biasa ini. Arvin mengerutkan dahi, heran ‘bagaimana
dia selalu dandan?’. Lebih tepatnya menyisir rambut dengan benar dan mandi pagi
yang lebih lama dua menit.
“Kau kenapa, Vin?” Erik dan Alma
bertanya hampir bersamaan. Arvin memastikan pada mereka jika ia tidak apa-apa,
terlalu cepat hingga mereka tahu ada yang menganggu dalam pikiran bocah
berjerawat itu.
“Hey, lihat, Una. Itu adikmu bukan?”
Salah seoranga anak yang duduknya entah dimana dalam bus menunjuk ke luar
jendela, ke arah gadis kecil berpita pink dan berpiama biru muda. Pipi gadis
itu terlihat meggoda untuk dicubit. Seketika Una menyyenggol Arvin untuk
melihat keluar jendela.
Una menghela lebih ke arah haru saat
terlihat adik kecilnya melambai dengan polos, di belakang gadis kecil itu
berdiri beberapa orang tua peserta pembuktian dari sekitar blok itu, melambai
dengan beragam energi ke arah anak-anak mereka masing-masing.
Ayah Arvin dan Alma berdiri di dekat
bibi Erik di bawah pohon kurus depan gedungnya. Hanya mendekapkan tangan di
depan dada dan tersenyum lemah ke arah anaknya.
Bus mulai berjalan, pertama secara
perlahan, lalu menambah kecepatan lama-kelamaan. Tapi kecepatan itu masih
terhitung lamban dalam level tinggi dibanding dengan kendaraan-kendaraan
berbahan bakar bensin beberapa dekade lalu.
“Sangat cepat” Alma mengingau di
pundak Erik. Mungkin mencoba mengatakan betapa cepatnya mereka berisap dari
tidur hingga ke bus. Tapi bagi Arvin, artinya betapa cepat dari awal hidupnya
hingga ke masa penentuan ini. Pemikiran yang sungguh terlalu dalam.
“Bagaimana kau bisa serapi itu?
Sepagi ini?” Arvin mengalihkan perhatiannya sendiri ke Erik. Anak laki-laki itu
hanya mengangkat bahu dan tersenyum ke arahnya.
“Aku tidak tidur tadi malam” Jawab
Erik sambil menghela.
“Ironis” Arvin tertawa lelah,
menunjukkan giginya yang belum sempat ia gosok.
“Huh?” Erik terheran pada pernyataan
tidak jelas itu.
“Oh... aku mengerti dimana lucunya”
Lanjutnya sebelum tertawa, matanya tertutup jika tertawa, meskipun hanya
tertawa ringan. Ironis karena ia tidak dapat memaksakan matanya untuk menutup
lebih lama daripada beberapa detik semalam, sementara Alma tidur hampir seperti
mayat dan sekarang masih menggunakan pundaknya sebagai bantal.
Mereka berhenti bercakap-cakap saat
pemandangan di luar jendela bus terhampar pantai putih yang luas dan laut biru
yang cukup bersih. Beberapa kapal nelayan berlabu, menghias pemandangan di
pandangan peripheral mereka. Meskipun
ketinggian air laut sudah lebih tinggi dari seratus tahun hingga lima puluh
tahun lalu, pantai itu masih terselamatkan keindahannya.
Saat di kelas enam, semua sekolah di
seluruh Tri-City mengadakan perjalanan rekreasi ke pantai Kota Barat itu. Ia
mengingat sesaknya pantai itu terlihat saat diserbu ribuan anak-anak yang tidak
pernah melihat pantai sungguhan selama hidup mereka. Anak-anak Kota Pusat dan
Kota Selatan.
Sekarang orang-orang bisa menaiki
bus tiap bulannya ke pantai itu, tapi hanya sedikit memiliki waktu untuk
melakukannya. Terkadang Arvin, Alma dan Erik berjalan ke pantai, lalu bermain
air atau memancing hingga sore. Belakangan ini pikirannya terlalu penuh untuk
pantai.
“Kita harus pergi ke sana” Erik
menunjuk ke arah bentangan pasir dan laut itu, lalu merangkulkan tangan kirinya
di pundak Alma.
“Setelah kita kembali, tentunya”
Tambahnya cepat, terdengar sedikit cemas. Ya, mereka mungkin pergi ke pantai
setelah pembuktian. Tapi pembuktian masih menghantui tepat di depan mata,
liburan jadi terdengar sedikit absurd. Tetap saja Arvin setuju tanpa
pertanyaan.
“Ya, sudah lama kita tidak ke sana”
Alma tiba-tiba bangkit dan menyahut.
“Whoa! Aku tidak tahu kau sudah
hidup lagi” Erik menggoda.
“Aku terbangun meski masih tidur”
Alma tersenyum, setidaknya berusaha menyombong dengan sentuhan gurauan.
“Ironis” Arvin tertawa hanya bersama
Erik.
Lama kelamaan mereka bergurau, makin
cepat perjalanan lamban itu terasa. Matahari pukul tujuh pagi mulai terasa bagi
mereka yang duduk di tepi jendela, meski tidak panas, terik itu terasa hangat.
Pemandangan yang jarang mereka
datangi. Reruntuhan bangunan-bangunan yang dibangun beberapa dekade lalu, di
sekitarnya ‘tumbuh’ berderet-deret panel surya atau mungkin hanya kaca yang
super berkilau dan sebuah menara tinggi menjulang di tengah-tengah hamparan
itu. Deretan bus-bus lain mulai berhenti di depan busnya, sejumlah wanita dan
pria berseragam hitam putih berjalan sepanjang deretan itu.
Setiap bus di depannya dimasuki satu
orang pekerja pemerintah. Seorang wanita berambut pendek dan memakai sepatu
yang tergolong sepatu lari. Kombinasi yang aneh, seragam kerja dan sepasang
sepatu olah raga.
Seluruh isi bus menjadi diam, bukan
semacam diam yang menenangkan, lebih ke arah canggung dan tegang. Karena
pekerja pemerintah mendatangi tempat tinggal penduduk, biasanya itu menandakan
seseorang dari tempat itu akan dikeluarkan dari kota.
“Pagi” Sapanya mengangguk penuh
keseriusan. Arvin dan Erik menggenggam tangan masing-masing erat, beberapa
detik kemudian mereka sadar apa yang mereka lakukan dan melepas tangan satu
sama lain dengan cepat. Alma menahan tawa di balik mimik serius.
“Aku Kara NK. Bagi siapa yang merasa
dipanggil setelah ini, harap berdiri” Kara memberi mereka senyum kecil di
tengah mereka sedang tegang. Ia terlihat jauh lebih muda saat tersenyum,
usianya baru saja sembilan belas, tapi seragam itu membuatnya terlihat jauh
lebih dewasa.
“Adam RD” Panggilnya, seorang anak
yang memakai jaket merah sebagai ikat kepala berdiri. Kara mendekat dan
memakaikan sebuah alat menyerupai gelang, terbuat dari semacam besi dan
memiliki layar kecil tidak berwarna di bagian depannya. Anak itu memejamkan
mata dan menghela lega, lalu duduk lagi.
“Arvin AV” Arvin berdiri cepat,
terlalu cepat. Tanda bahwa ia gugup, tangannya kembali menggapai-gapai di
belakang punggunya. Mencari sebuah tangan untuk dipegang, Alma menggandeng
tangan adiknya, terasa basah oleh keringat.
“Pakai ini selama tujuh hari di pembuktian
penduduk, jangan khawatir tentang air. Alat ini waterproof” Kara melanjutkan
pelan.
“Alma AV” Dengan ragu Alma berdiri,
mengulurkan tangannya. Menunggu wanita bersepatu olah raga itu untuk merogoh ke
dalam tasnya mengambil benda yang serupa.
“Pakai ini selama tujuh hari di
pembuktian penduduk, jangan khawatir tentang air, alat ini-”
“waterproof, aku mengerti--- Bu”
Jawab Alma dengan formalitas tidak diperlukan.
“Ok, kau boleh duduk sekarang” Alma
menurut dengan pengaruh rasa takut.
Jutaan pertanyaan melintas seribu
kilometer per jam di kepala Arvin, saking cepatnya pertanyaan itu hanya
terwujudkan dengan mulut terbuka yang tidak mengeluarkan suara. Tidak
mengetahui sesuatu memang mengganggu sekali buatnya, terutama jika hal itu
menyangkut penentu masa depannya.
“Mohon tunda pertanyaan kalian
hingga tiba di Gelanggang Bendung, terima kasih perhatiannya” Setelah selesai
membagikan alat itu, Kara turun dari bus dan berjalan menjauh dari pandangan
anak-anak itu.