Wednesday, November 14, 2012

The Citizens - Bab 2



Revised Chapter 2

Mengapa bus menuju pembuktian harus berangkat lebih pagi dari jam sekolah? Tiga jam lebih pagi. Karena bus-bus yang mereka gunakan kecepatannya jauh lebih lambat dari kendaraan-kendaraan di negara lama dulunya. Rin masih berusaha melawan kantuk dengan segelas besar kopi milik ayahnya. Persediaan kopi Tri-City dibatasi karena sulitnya mengolah dan menanam tanaman kopi dalam jumlah yang cukup disamping makanan pokok.
Persediaan kopi itu mungkin hal yang sangat berharga bagi ayahnya, tapi kali ini tidak ada yang melarang Rin untuk meminumnya.
“Kalau ayah memang keberatan, tidak apa-apa. Kita bisa berbagi segelas ini” Rin meletakkan gelas itu di tengah meja makan. Ayahnya menelan ludah, membayangkan rasa cairan hitam lezat itu.
“Tidak, kau saja. Ini hari pembuktian, hari yang besar” Ibunya berdiri di belakangnya, memberi ‘tatapan maut’ pada ayahnya agar merelakan segelas kopi yang diminumnya.
Rin menghadap ke arah yang sama dengan ibunya, tidak sempat melihat tatapan itu. Ia menaruh buku fiksi usang yang terbit pada tahun 1978, dan ditulis pada 1920-an di atas meja. Pikirannya terlalu penuh untuk membaca novel melayu itu. Ia suka buku, semua jenis buku. Mungkin karena membaca memenuhi pikirannya dengan kosakata daripada
Suara bel dari bus di depan gedung itu memecah sepinya subuh, Rin berdiri dari kursinya dan mengambil tas keperluan juga jaket sekolahnya yang berwarna hijau tua. Ibunya tiba-tiba memberi pelukan khawatir, gestur yang jarang ditunjukkan dalam keluarganya.
“Hati-hati” Rin tersenyum setengah bangun saat ibunya menepuk pundaknya lembut. Selanjutnya giliran ayahnya. Rin tidak pernah begitu dekat dengan pria setengah botak itu. Mereka bersalaman tangan ala orang tua dan anak.
“Jadi... Lena belum telefon?” Rin memecah kecanggungan. Ayahnya menggeleng, tiba-tiba maju selangkah untuk memeluknya. Tidak selembut ibunya, tapi pelukan adalah pelukan. Tidak pernah diingatnya kalau keluarga ini bisa sedekat itu.
Sebuah pemikiran aneh, Rin merasa seperti anak kecil yang mendapat gula-gula. Hal ini sangat jarang terjadi padanya. Jika dihitung berapa kali ia tahu orang tuanya memeluknya, hitungan itu hanya sampai ke angka tiga atau empat.
 “Aku harus pergi, aku akan pulang minggu depan, kalian tahu itu” Rin mencoba menghapus kecemasan di ekspresi ibunya. Apa yang baru saja dikatakannya merupakan opini atau hipotesis belaka, bukan fakta. Ia tahu itu dalam dalam.
“Ya, jangan lupa gosok gigi sebelum tidur” Ibunya membukakan pintu untuknya. Hal ironis untuk dikatakan sebelum anaknya berangkat untuk pembuktian, Rin bisa saja tertawa tapi kali ini tidak karena nada yang dipakai ibunya membuatnya ikut cemas.
Perjalanan dari lan\tai letak apartemennya menuju bus terasa lebih dingin dari biasanya. Diikuti dengan peserta lain yang tinggal di gedung yang sama.
“Rin-Rin!” Dennis menyapa sebelum menguap. Dennis dan Frida berdiri di depan pintu bus, menunggu sepupu mereka yang tak kalah mengantuknya masuk ke dalam mesin transportasi lamban itu.
“Dennis... Frida...” Rin memberi mereka salaman khas mereka bergantian lalu masuk ke dalam bus bertingkat berwarna hitam itu. Seketika udara dingin terasa meninggalkan tubuhnya, penghangat ruangan rupanya salah satu fitur pada bus tua itu, masih berfungsi pula.
“Ibu tadi sedikit aneh, ya Den?” Frida menemukan tempat duduk untuk tiga orang lalu duduk dengan lebih tidak teratur dari biasanya.
“Ya, Ibu kami tadi benar-benar menangis. Menangis sungguhan, Rin. Dengan air mata, dan ingus pun” Dennis mengajaknya masuk dalam diskusinya dengan saudara kembar fraternalnya.
“Ingus?” Rin mengerutkan dahi, tapi hampir tertawa.
“Menjijikkan, Den” Frida bersandar pada kursinya mencoba tidur sejenak. Tidak biasa mereka bangun sepagi itu. Satu-satunya kejadian dimana mereka bangun lebih pagi dari pada pukul enam pagi adalah waktu seluruh kota dilanda mati lampu tiba-tiba untuk pertama kali. Pembangkit listrik, seperti infrastruktur mereka yang lain tidak dalam kondisi sebagus waktu mereka pertama kali dibangun.
“Ibuku juga tadi sedikit aneh, ayahku juga. Mereka... memelukku” Rin melanjutkan ke kalimat terakhir seolah kata itu terlarang untuk dikatakan. Lebih tepatnya, kata itu terasa menyangkut di antara langit-langit mulutnya, menunggu untuk keluar.
“What? Serius? Paman Herman? Memeluk?” Frida berhenti menyandar ke belakang, penasaran. Sepertinya yang Rin bicarakan merupakan fenomena langka dalam keluarganya.
“Ya, tapi tanpa ingus” Rin membuat lelucon di sela-sela kantuk mengajaknya untuk menutup mata lebih lama. Ketiganya tertawa singkat, lalu menjadi diam saat kantuk memenangkan mata Dennis dan Frida.
Beberapa anak lain juga tertidur, membawa suasana hening menenangkan selaras dengan jalannya bus yang lembut meski jalanan yang dilalui sudah pecah-pecah aspalnya. Maklum karena aspal itu tidak pernah diganti sejak runtuhnya negara lama, dan aspal merupakan bagian dari produksi minyak bumi (habis). Rin selalu penasaran tentang seperti apa negara lama sebelum terpecah belah.
Ia ingat waktu di sekolah, kelasnya diajarkan tentang sejarah, salah satunya adalah tentang negara lama. Ada satu kata yang sangat aneh dan lucu baginya, ‘pop’ adalah kata itu. Sebuah video klip musik yang tidak memiliki hubungan baik dengan usianya, ditunjukkan pada seluruh kelasnya oleh guru favoritnya. Video itu dibuat empat puluh tahun lebih bahkan lima puluh tahun lalu, sebelum negara lama terlalu kacau untuk ‘pop’. Orang-orang bertubuh kurus dan kencang, memakai pakaian heboh berwarna-warni dan terlalu banyak bahan kimia (make-up) di wajah mereka. Menari gerakan synchronized dan bernyanyi, nyanyiannya tidak begitu mengesankan. Yang paling menonjol bagi Rin adalah ke-hedonisme-an yang video klip itu pancarkan. Ia menghela, lelah berpikir lalu menyerahkan perhatiannya kembali ke jendela.
Pemandangan di luar jendela berubah perlahan. Dari gedung-gedung apartemen yang tidak bercat dan mulai retak di sana-sini, lalu gedung-gedung agrikultur dan greenhouses dimana Tri-City menumbuhkan makanan, obat-obatan dan menernak hewan, kemudian filter udara yang menjulang seperti tiang-tiang tinggi. Tingginya filter-filter di tengah reruntuhan itu menyebabkan bayangan-bayangan memanjang di sekitarnya. Sekilas melewati gedung pertama dan panel-panel surya pembangkit listrik, lalu pada tengah-tengah hamparan reruntuhan dan panel surya, bus berhenti.
Setahunya, tidak ada pemilik kendaraan pribadi di Tri-City, jadi dari mana kemacetan itu? Tidak ada kendaraan pribadi kecuali sepeda untuk tiap-tiap orang yang mengajukan permintaan untuk sepeda. Kebanyakan meminta sepeda pada usia tujuh atau delapan.
Deretan-deretan bus dari semua Sub City sedang dalam posisi stagnant, seperti menunggu. Mesin bus itu dimatikan. Rin mengerutkan dahi lalu melihat jam tangan pada pergelangan Frida. 07:18 terbaca berkedip-kedip. Sebuah bus berwarna hijau yang lebih kecil berhenti di suatu titik di antara panel-panel surya yang tersebar.
Banyak anak yang terlalu mengantuk untuk peduli dan beberapa bangun dari tidur singkat mereka. Rin melihat keluar jendela untuk hal yang tidak biasa, dan tidak menemukan satu pun kecuali bus hijau dan sejumlah pria dan wanita berseragam hitam dan putih mendekati busnya dan bus-bus lain di depan bus itu.
Tangannya secara refleks mengguncang-guncang kedua sepupunya, membuat mereka mengeluh dan mengucek mata dengan cepat.
Bagaikan refleks, mereka bertiga merapikan cara duduk mereka dan merapatkan jaket hijau mereka. Pria berkacamata berseragam hitam dan putih memasuki bus mereka, langkah kaki bersepatu barunya memenuhi bus hening itu.

“Alma! Alma! Al Al Alma...!” Arvin menggoyang-goyang kakaknya dari tidurnya. Gadis itu bergeming, hanya mengecapkan mulutnya beberapa kali dalam kondisi masih tertidur. Arvin berlari ke seberang kamarnya, menyiapkan segala hal yang diperlukan di pembuktian baginya dan Alma juga.
Bel bus untuk mengantar mereka berbunyi, menandakan bus itu akan berhenti di depan gedung. Ayah mereka hanya dapat membantu menyiapkan, tidak berdaya membangunkan putrinya yang sedang tenggelam di dunia mimpi tanpa kemungkinan mudah bangun.
“Seharusnya aku bangun lebih pagi, tapi aku tidak bisa membangunkan kalian. Jadi maaf, ok? Hapus kerutan di dahimu itu, Vin” Ayahnya mengusap matanya dengan punggung tangan. Arvin hanya mengangguk dan kembali berjuang membangunkan Alma.
“Hanya saja pembuktian akan memakan banyak energi, kalian akan butuh banyak tidur” Lanjut pria yang mulai tumbuh rambut abu-abunya itu. Yang ia baru saja katakan hampir saja melewati batas tentang peraturan transparency menyangkut pembuktian penduduk.
“Ya, aku tahu, yah. Tidurmu tidak terganggu bukan?” Arvin bisa saja mengatakannya dalam nada sarkastik, tapi tidak. Keluarganya terlalu dekat dan berharga buatnya untuk sarkasme. Arvin ,Alma dan ayah mereka memang sangat dekat sejak ibunya dikeluarkan dari kota karena memberontak tentang sesuatu yang menyangkut hubungan Tri-City dengan daerah pemberontak negara lama yang lain, bukan topik yang ia ingin cari tahu. Ia menghembuskan napas berat memikirkan itu.
“Apa? Apa? Jam berapa?” Alma hampir berteriak saat bangun, membuat Arvin terkejut dan ikut berteriak. Ia melempar tas berwarna hitam-biru dan sebuah jaket berwarna biru tua pada kakaknya, lalu dengan bingungnya berputar sekitar dapur, mencari sesuatu.
Dahinya mulai berkeringat meskipun hawa subuh masih menggelitik kulitnya dengan dingin. Tangannya sedang frantic membuka dan menutup laci-laci yang dapat digapainya, ada dua laci yang harus digapai sambil menjinjit. Ia mengerang kesal dibalik deretan gigi sehatnya yang ditutupnya rapat.
“Vin” Ayahnya menepuk pundaknya lalu memberinya sebuah buku tulis yang penuh dengan tempelan-tempelan kertas foto copy, dan tulisan-tulisan keritingnya. Ia menghela napas lega lalu memeluk ayahnya erat-erat, berterima kasih dalam bentuk fisik. Ayahnya membalas pelukan itu, hal yang biasa mereka lakukan. Alma muncul dari dalam kamar tifur yang dibagi dua itu, lalu memberi ayah dan adiknya sebuah bear hug.
Bel bus itu berbunyi lagi, tanda keterlambatan mereka.
“Jaga diri kalian” Ayah memegang tangan putrinya erat-erat, tidak ingin melepas dalam pikirannya. Bel itu berbunyi lagi, Alma mendesah kesal lalu mencium pipi ayahnya dan berlari keluar pintu. Arvin hanya bisa mengikuti dengan kecepatan yang lebih pelan, sesekali melihat ke belakang ka arah ayahnya.
Tanpa diragukan, ia takut. Takut karena pembuktian tepat di ujung hidungnya, dan sebagian takut dengan semua perasaan campur aduk yang mendidih dan terasa berputar-putar di perutnya.
“Kau akan baik-baik saja, Arvin. Berangkatlah” Pria itu memaksakan senyum ke wajahnya, memalsukan rasa aman pada putranya yang mulai berjalan lebih cepat, tapi masih menghadap padanya. Bel itu berbuni lagi.
Arvin menatap wajah ayahnya, tersenyum lalu berlari ke arah yang sama dengan Alma. Di dalam pikirannya ia berteriak, telah mengetahui rasanya kehilangan anggota keluarganya karena kebijakan tentang Evicted Citizens ( kebijakan yang mengatur pengusiran penduduk yang melanggar peraturan atau gagal dalam pembuktian).
Melihat Alma berlari kikuk menuju bus, dengan tas terisi penuh hingga titik berlebihan di punggung Alma dan jaket merah kakaknya yang terbalik, ia berpikir apa yang ada dalam pikran gadis itu. ‘Mungkin tentang tidur’ pikirnya dangkal.
“Terima kasih sudah menunggu” Arvin mengangguk sopan pada sopir bus yang terlihat sama mengantuknya dengan anak-anak di dalam bus itu. Wanita di belakang setir itu mengangguk balik dan bibirnya menekuk ke atas di bagian ujung-ujungnya, hanya beberapa milimeter senyum.
“Erik...” Alma mendahuluinya duduk di sebelah anak laki-laki yang secara mengejutkan, masih terlihat segar dan sedikit rapi di jam tidak biasa ini. Arvin mengerutkan dahi, heran ‘bagaimana dia selalu dandan?’. Lebih tepatnya menyisir rambut dengan benar dan mandi pagi yang lebih lama dua menit.
“Kau kenapa, Vin?” Erik dan Alma bertanya hampir bersamaan. Arvin memastikan pada mereka jika ia tidak apa-apa, terlalu cepat hingga mereka tahu ada yang menganggu dalam pikiran bocah berjerawat itu.
“Hey, lihat, Una. Itu adikmu bukan?” Salah seoranga anak yang duduknya entah dimana dalam bus menunjuk ke luar jendela, ke arah gadis kecil berpita pink dan berpiama biru muda. Pipi gadis itu terlihat meggoda untuk dicubit. Seketika Una menyyenggol Arvin untuk melihat keluar jendela.
Una menghela lebih ke arah haru saat terlihat adik kecilnya melambai dengan polos, di belakang gadis kecil itu berdiri beberapa orang tua peserta pembuktian dari sekitar blok itu, melambai dengan beragam energi ke arah anak-anak mereka masing-masing.
Ayah Arvin dan Alma berdiri di dekat bibi Erik di bawah pohon kurus depan gedungnya. Hanya mendekapkan tangan di depan dada dan tersenyum lemah ke arah anaknya.
Bus mulai berjalan, pertama secara perlahan, lalu menambah kecepatan lama-kelamaan. Tapi kecepatan itu masih terhitung lamban dalam level tinggi dibanding dengan kendaraan-kendaraan berbahan bakar bensin beberapa dekade lalu.
“Sangat cepat” Alma mengingau di pundak Erik. Mungkin mencoba mengatakan betapa cepatnya mereka berisap dari tidur hingga ke bus. Tapi bagi Arvin, artinya betapa cepat dari awal hidupnya hingga ke masa penentuan ini. Pemikiran yang sungguh terlalu dalam.
“Bagaimana kau bisa serapi itu? Sepagi ini?” Arvin mengalihkan perhatiannya sendiri ke Erik. Anak laki-laki itu hanya mengangkat bahu dan tersenyum ke arahnya.
“Aku tidak tidur tadi malam” Jawab Erik sambil menghela.
“Ironis” Arvin tertawa lelah, menunjukkan giginya yang belum sempat ia gosok.
“Huh?” Erik terheran pada pernyataan tidak jelas itu.
“Oh... aku mengerti dimana lucunya” Lanjutnya sebelum tertawa, matanya tertutup jika tertawa, meskipun hanya tertawa ringan. Ironis karena ia tidak dapat memaksakan matanya untuk menutup lebih lama daripada beberapa detik semalam, sementara Alma tidur hampir seperti mayat dan sekarang masih menggunakan pundaknya sebagai bantal.
Mereka berhenti bercakap-cakap saat pemandangan di luar jendela bus terhampar pantai putih yang luas dan laut biru yang cukup bersih. Beberapa kapal nelayan berlabu, menghias pemandangan di pandangan peripheral mereka.  Meskipun ketinggian air laut sudah lebih tinggi dari seratus tahun hingga lima puluh tahun lalu, pantai itu masih terselamatkan keindahannya.
Saat di kelas enam, semua sekolah di seluruh Tri-City mengadakan perjalanan rekreasi ke pantai Kota Barat itu. Ia mengingat sesaknya pantai itu terlihat saat diserbu ribuan anak-anak yang tidak pernah melihat pantai sungguhan selama hidup mereka. Anak-anak Kota Pusat dan Kota Selatan.
Sekarang orang-orang bisa menaiki bus tiap bulannya ke pantai itu, tapi hanya sedikit memiliki waktu untuk melakukannya. Terkadang Arvin, Alma dan Erik berjalan ke pantai, lalu bermain air atau memancing hingga sore. Belakangan ini pikirannya terlalu penuh untuk pantai.
“Kita harus pergi ke sana” Erik menunjuk ke arah bentangan pasir dan laut itu, lalu merangkulkan tangan kirinya di pundak Alma.
“Setelah kita kembali, tentunya” Tambahnya cepat, terdengar sedikit cemas. Ya, mereka mungkin pergi ke pantai setelah pembuktian. Tapi pembuktian masih menghantui tepat di depan mata, liburan jadi terdengar sedikit absurd. Tetap saja Arvin setuju tanpa pertanyaan.
“Ya, sudah lama kita tidak ke sana” Alma tiba-tiba bangkit dan menyahut.
“Whoa! Aku tidak tahu kau sudah hidup lagi” Erik menggoda.
“Aku terbangun meski masih tidur” Alma tersenyum, setidaknya berusaha menyombong dengan sentuhan gurauan.
“Ironis” Arvin tertawa hanya bersama Erik.
Lama kelamaan mereka bergurau, makin cepat perjalanan lamban itu terasa. Matahari pukul tujuh pagi mulai terasa bagi mereka yang duduk di tepi jendela, meski tidak panas, terik itu terasa hangat.
Pemandangan yang jarang mereka datangi. Reruntuhan bangunan-bangunan yang dibangun beberapa dekade lalu, di sekitarnya ‘tumbuh’ berderet-deret panel surya atau mungkin hanya kaca yang super berkilau dan sebuah menara tinggi menjulang di tengah-tengah hamparan itu. Deretan bus-bus lain mulai berhenti di depan busnya, sejumlah wanita dan pria berseragam hitam putih berjalan sepanjang deretan itu.
Setiap bus di depannya dimasuki satu orang pekerja pemerintah. Seorang wanita berambut pendek dan memakai sepatu yang tergolong sepatu lari. Kombinasi yang aneh, seragam kerja dan sepasang sepatu olah raga.
Seluruh isi bus menjadi diam, bukan semacam diam yang menenangkan, lebih ke arah canggung dan tegang. Karena pekerja pemerintah mendatangi tempat tinggal penduduk, biasanya itu menandakan seseorang dari tempat itu akan dikeluarkan dari kota.
“Pagi” Sapanya mengangguk penuh keseriusan. Arvin dan Erik menggenggam tangan masing-masing erat, beberapa detik kemudian mereka sadar apa yang mereka lakukan dan melepas tangan satu sama lain dengan cepat. Alma menahan tawa di balik mimik serius.
“Aku Kara NK. Bagi siapa yang merasa dipanggil setelah ini, harap berdiri” Kara memberi mereka senyum kecil di tengah mereka sedang tegang. Ia terlihat jauh lebih muda saat tersenyum, usianya baru saja sembilan belas, tapi seragam itu membuatnya terlihat jauh lebih dewasa.
“Adam RD” Panggilnya, seorang anak yang memakai jaket merah sebagai ikat kepala berdiri. Kara mendekat dan memakaikan sebuah alat menyerupai gelang, terbuat dari semacam besi dan memiliki layar kecil tidak berwarna di bagian depannya. Anak itu memejamkan mata dan menghela lega, lalu duduk lagi.
“Arvin AV” Arvin berdiri cepat, terlalu cepat. Tanda bahwa ia gugup, tangannya kembali menggapai-gapai di belakang punggunya. Mencari sebuah tangan untuk dipegang, Alma menggandeng tangan adiknya, terasa basah oleh keringat.
“Pakai ini selama tujuh hari di pembuktian penduduk, jangan khawatir tentang air. Alat ini waterproof” Kara melanjutkan pelan.
“Alma AV” Dengan ragu Alma berdiri, mengulurkan tangannya. Menunggu wanita bersepatu olah raga itu untuk merogoh ke dalam tasnya mengambil benda yang serupa.
“Pakai ini selama tujuh hari di pembuktian penduduk, jangan khawatir tentang air, alat ini-”
“waterproof, aku mengerti--- Bu” Jawab Alma dengan formalitas tidak diperlukan.
“Ok, kau boleh duduk sekarang” Alma menurut dengan pengaruh rasa takut.
Jutaan pertanyaan melintas seribu kilometer per jam di kepala Arvin, saking cepatnya pertanyaan itu hanya terwujudkan dengan mulut terbuka yang tidak mengeluarkan suara. Tidak mengetahui sesuatu memang mengganggu sekali buatnya, terutama jika hal itu menyangkut penentu masa depannya.
“Mohon tunda pertanyaan kalian hingga tiba di Gelanggang Bendung, terima kasih perhatiannya” Setelah selesai membagikan alat itu, Kara turun dari bus dan berjalan menjauh dari pandangan anak-anak itu.


The Citzens - Bab 1


Revised chapter 1

Kota Barat
Arvin melempar pandangan kecil pada kakaknya seolah berkata “Jangan melihatku seperti itu!”. Alma tertawa dalam hati melihat adiknya berpakaian begitu rapi dan bersihnya, tidak seperti hari-hari biaasanya dimana Arvin tidak peduli akan rambutnya dan beberapa noda di bajunya tak terurus. Biasanya penampilan lusuh sehari-hari Arvin disebabkan dari kegiatan mengutak-atik komputer bersama anak-anak ‘Tech’, sebutan penggila komputer di sekolah mereka. Tidak banyak orang yang bisa menggunakan komputer di Tri-City, karena komputer hanya terdapat di fasilitas-fasilitas pemerintah dan sekolah-sekolah tertentu. Ia adalah salah satu tech yang beruntung bisa melompat dua tahun kelas.
Hari ini banyak anak yang berpakaian lebih rapi dari biasanya. Tentu saja! Hari ini adalah hari kelulusan ke-41 di Tri-City, hari yang besar. Sehari setelah kelulusan, para lulusan akan diwajibkan ikut dalam Pembuktian Penduduk.
“Gaun yang bagus, Al” Ujar Erik, teman dekat mereka setengah sarkastik pada Alma, meledek gaun sepanjang lutut berwarna kuning pudar yang dipakai Alma. Erik terlihat rapi seperti biasanya, tapi kali ini Erik benar-benar mandi pagi.
Mereka sudah berteman baik sejak kecil, semakin mereka tumbuh semakin banyak mereka mengejek satu sama lain untuk kesenangan. Banyak yang berpikir mereka aneh, tapi ketiganya tak begitu peduli.
“Ya, terima kasih untuk pujiannya” Alma balik sarkastik.
“Sama-sama. Vin, wah... aku jadi ingat karpet yang baru dicuci” Erik menunjuk ke rambut Arvin yang dengan rapinya terlumuri minyak rambut. Alma dan Erik meledak tertawa memegang perut mereka.
“Alma yang menatanya, ide buruk, bukan?” Arvin menggeleng dengan cepat, agar minyak rambut yang sungguh berlebihan menciprat kesana-kemari dan lepas dari kepalanya.
“Hentikan, monster minyak!” Alma mendramatisir tanpa berhenti tertawa. Untuk ukuran anak tujuh belas tahun, Alma memang sedikit kekanakan. Sedangkan, Arvin yanng usianya di akhir-akhir usia ke lima belasnya masih bisa dianggap normal dengan kekanakan itu.
“Kau bisa menggoreng ikan dengan minyak sebanyak itu” Arvin bercanda. Tentu saja tidak akan bisa, minyak yang mereka gunakan harus berbeda.
Beberapa anak menoleh tidak enak ke arah mereka karena mencoloknya tingkah ketiganya. Tapi semua anak yang sedang menunggu bus terlihat mencolok dengan pakaian rapi mereka di antara gedung-gedung apartemen yang sudah termakan usia dan hamparan tanah yang tidak begitu subur. Kota Barat memang bukan area yang hijau, tapi mereka merupakan bagian yang sama pentingnya di Tri-City.
“Bus sudah dekat” Erik merangkulkan tangan kanannya ke pundak Alma, menyebabkan kecanggungan singkat antara ketiganya. Melihat kakaknya dengan sahabatnya ‘dekat’ memang masih baru untuk Arvin.
 Bus berwarna putih sekaligus karat berhenti tepat di depan tanda jalan di depan mereka. Menunggu anak-anak lain masuk ke dalam mesin transportasi tua di depan mereka memang tidak bisa dibilang menyenangkan dengan pandangan-pandangan masam dari anak-anak itu. Tidak mudah menjadi anak-anak pemberontak. Mungkin hal ini salah satu alasan mengapa mereka berteman dari awal, mereka sama-sama mempunyai salah satu orang tua di cap sebagai pemberontak yang dikeluarkan dari kota.
Seperti biasa, Arvin, Alma dan Erik duduk di tempat duduk paling belakang dengan salah satu tetangga se-gedung mereka, Una. Una bukan orang ter-favorit mereka.
“Selamat untuk kelulusan kalian” Una menjabat tangan mereka satu per satu, kesannya terpaksa. Rambut Una yang dikuncir ke belakang rapat mengibas ke kiri dan kanan.
“Terima kasih, Una. Kau juga” Alma mencoba tersenyum ramah, tapi terkesan tidak seratus persen tulus.
“Hari cerah bukannya?” Arvin dengan ringan tersenyum pada gadis berkuncir itu. Memang Arvin tergolong orang yang mudah bergaul, meski tidak senang bergaul dengannya, Arvin tidak kesulitan bercakap ringan dengan ‘musuh’ masa kecilnya.
“Ya” Jawab gadis itu singkat.
Erik mendehem keras lalu duduk ke tempat duduk biasanya di dekat jendela. Tanpa aba-aba Alma duduk di sebelah Erik, sedikit menyandar ke anak laki-laki itu. Arvin memutar bola mata pada adegan romance kecil mereka.
“Hanya lima belas menit jaraknya ke sekolah, suportive sedikit lah, jenius” Alma tersenyum hangat pada adiknya, mencoba menghilangkan kecanggungan rutin yang terjadi tiap saat ia mendekat dengan Erik.
Arvin menghela, kemudian duduk di tempat duduk yang biasa ditempatinya, tepat di sebelah Una. Bagus... Pikirnya mengeluh. Tetapi mengeluh secara fisik bukanlah kebiasaan penduduk Tri-City, Arvin tersenyum sendiri mengingat masa kecilnya dimana saat ia tidak dapat yang diinginkannya, ia akan berteriak sambil menangis “Aku ingin keluar dari Tri-City!” berkali-kali. Hal yang tidak mungkin Arvin, Alma atu siapapun akan katakan saat sudah memiliki akal yang benar. Orang tuanya selalu menegurnya, ibunya sering menggendong lalu bernyanyi di pelan dekat telinganya. Kelaurganya, hanya tinggal ayahnya, Alma, dan dia. Cukup! Bentaknya pada diri sendiri dalam hati.
Rupanya Una sedang memandanginya aneh, seolah berkata “Apa kau gila?”. Ia sadar ekspresi wajah tidak bisa dibilang menyembunyikan pikiran.
 Arvin menoleh ke arah lain, memutuskan untuk tidak terlibat dalam kecanggungan. Terdengar Alma dan Erik sedang berdebat tentang Prevail. Prevail adalah pemeroleh skor tertinggi di setiap pembuktian, meskipun skor semua pesertanya tidak ditunjukkan kecuali jika kau seorang Prevail. Tetap saja, mendapat skor tertinggi di pembuktian merupakan kehormatan tersendiri sejak banyak orang yang mengatakan pembuktian adalah hal tersulit yang mereka hadapi seumur hidup.
Tidak banyak yang anak-anak itu ketahui tentangnya, kecuali jika kau gagal, kau keluar dari kota. Itu saja. Dan akan dipilih satu hingga tiga orang Prevail (pemeroleh skor tertinggi di Pembuktian) yang pastinya akan mendapat pekerjaan di pemerintahan atau Patron (penegak hukum Tri-City).
 Tidak ada yang boleh membicarakan pengalaman mereka di pembuktian, bahkan pada keluarga mereka. Mereka hanya dapat berkata hal seperti ‘hal tersulit yang pernah aku hadapi’. Arvin mengerutkan dahi pada pemikirannya.
Bus berhenti, memecahkan lamunan beratnya. Di luar jendela berdiri sebuah sekolah yang merupakan bangunan lebar bertingkat lima, terdapat jam berukuran berpuluh-puluh kali ukuran jam dinding biasa, menunjukkan waktu masuk sekolah. Tapi kali ini sekolah diliburkan untuk acara kelulusan mereka.
Sekolah itu sudah retak di sana-sini samar-samar. Sudah berdiri sejak pertama kali Tri-City dibentuk dan sejak itu tidak banyak yang diperbarui dan diperbaiki.
Pertama kali Arvin masuk ke sekolah, dia takut jika sekolah itu akan roboh di tengah-tengah jam belajar. Tapi itu sudah sepuluh tahun lalu, toh sekolah itu masih berdiri tapi kondisisnya makin mengkhawatirkan.
“Apa-apaan?” Ia berpikir sendiri sambil mendesak-desak menuju dekat jendela. Erik dan Alma juga bverebut mendekat ke jendela, menimbulkan seberkas embun di kacanya sebab napas mereka.
Di depan sekolah mereka, tepatnya di halamannya. Berdiri kerumunan orangtua dan mereka bertepuk tangan. Wajah mereka terlihat senang sekaligus lelah, sebagian besar dari mereka.
Arvin dan hampir semua anak di bus tidak dapat menahan senyum mereka. Kelulusan bukan hal yang buruk, pikirnya saat melihat sosok gembira ayahnya yang bertepuk tangan di pinggir trotoar jalan tua. Pria itu berdiri sendiri, lagi-lagi sendiri sejak istrinya dikeluarkan dari kota. Tak  tahu apa nasib wanita itu, komunikasi antar Tri-City dan luar teritory di larang.


Kota Pusat
“Tri-City dibentuk di tengah dunia sedang pada titik terburuknya” Pidato Kepala Sekolah Sub City Pusat 2 menggema di sekitar ruangan karena volume stereonya terlalu keras. Suara itu memantul-mantul di tembok abu-bu tak bercat dan lantai berkeramik usangnya. Rin mengerutkan dahi, menahan keinginannya untuk memprotes atas telinganya yang mulai sakit.
“Aku sangat ingin ke kamar mandi sekarang” Frida mengimpit kaki untuk menahan instingnya untuk buang air.
“Pegang tanganku” Ujar Rin mencari-cari tangan sepupunya.
“Apa ini membantu?” Suara Frida mulai terdengar putus asa.
“Tidak, aku hanya ingin suasana so sweet” Balas Rin sambil sebuah senyum mulai menarik ujung-ujung bibirnya.
“Pegang tanganku juga” Dennis melempar sepotong roti suguhan ke arah Rin. Mereka bertiga sekeluarga, Dennis dan Frida merupakan saudara kembar fraternal dan Rin adalah sepupu mereka dari sisi ibu Rin.
“Dan kenapa aku ingin melakukan itu?” Frida menjulurkan lidah ke arah kembarannya. Rin melempar pandangan mengejek pada Dennis sebelum kembali memeperhatikan pidato.
 Di sebelah Dennis duduk kedua orang tuanya,
“Pegang tangan ibu saja” Ibu Dennis dengan semangat, membuat anaknya menyembunyikan muka, malu. Orangtua Rin tidak sempat datang karena ibunya sedang ada masalah di tempat kerjanya; greenhouse 4, dan ayahnya... Rin tidak begitu tertarik untuk bertanya mengapa.
“Setiap tahun kota kita mengadakan Pembuktian Peduduk” Lanjut pidato itu. Rin kembali bergurau bersama Frida, mengalihkan perhatian sepupunya itu dari kebutuhan kamar mandi.
“Ah jangan bahas Lena, aku tidak akan bisa menyamainya” Ia bersandar ke kursi kurang empuk tempat duduknya yang sama seperti semua tempat duduk di aula itu.
“Ok, ok... Apa yang kau inginkan setelah pembuktian? Aku ingin bekerja di peternakan” Frida menyibak rambut ke belakang punggung dengan santai.
“Hm... aku tidak tahu... Patron? Pfft Yang penting aku tidak gagal” Rin tersenyum ringan.
“Agar kita bisa membedakan mana yang memiliki kualitas-kualitas terbaik untuk dikembangkan di kota kita dan mana yang tidak berhak atas hak-hak yang disediakan di kota kita” Lanjut Kepala Sekolah berambut putih setengah hitam itu. Reaksi menurut ekspresi wajah para orang tua lulusan berbeda-beda setelah bagian pidato itu disebut.
“Wow... sangat optimis” Frida meledeknya dengan nada sarkastik, setengah memperhatikan pidato.
“Ya, seperti yang kau tahu. Aku penuh dengan harapan” Balasnya dengan lebih sarkastik, tapi dengan sentuhan gurau yang pas.
“Dan saya harap kalian semua lolos pembuktian, karena saya yakin bahwa sekolah ini...” Pria itu kembali melihat teks. Rin dan Frida sambil lalu bergurau lagi.
“Telah mendidik penduduk-penduduk yang baik... Prevail terbaru dari sekolah ini adalah Helena DK, seraya menjadi simbol kelayakan sekolah kita” Potongan pidato itu membuat Rin membelalak kaget, sambil semua mata tertuju padanya sebagai adik pemilik nama itu.
“Tetapi untuk mereka yang tidak lolos dalam pembuktian, mereka tidak membuktikan kelayakan mereka untuk tinggal di kota kita. Maka untuk kebaikan bersama, mereka tidak diperbolehkan untuk tinggal” Pidato itu ternyata berakhir sedikit suram. Terlihat dari jumlah tepuk tangan yang didapatnya, sedikit sepi untuk seribu dua puluh lulusan dan orang tua mereka bukannya?
Rin berjalan dibawah bayangan pohon-pohon di sepanjang jalan raya beraspal pecah-pecah menuju rumahnya. Acara kelulusan yang penuh dengan pidato dan tepuk tangan akhirnya selesai, tapi sayangnya bus yang dijadwalkan untuk mengantar lulusan-lulusan pulang hanya untuk mereka yang tinggal minimal 1,5 kilometer. Dengan dasar peraturan: Semua penduduk yang resmi dewasa dan tamat pendidikan  tidak lagi berhak atas fasilitas transportasi bantuan kecuali memiliki kepentingan yang jaraknya 1,5 kilometer dari posisi awal. Ia hafal banyak hal tentang perauturan kota, orang tuanya selalu menyuruhnya menghafal sejak kecil. Hanya ada dua puluh peraturan, tidak banyak bukan? Tapi konsekuensi tiap pelanggaran tidak sedikit.
Ada beberapa anak seusianya, lulusan lain yang tinggal di gedung yang sama dengan keluarganya. Mereka sekarang sedang menunggunya melakukan sesuatu pada pintu lift yang tidak bisa terbuka. Ia menekan beberapa tombol secara beraturan, tak disangka pintu lift reot di depannya terbuka.
“Kita siap untuk makan siang, cepat masuk dan lepas jaket baumu itu” Ibunya menunggu di ambang pintu apartemen keluarganya yang terletak di lantai dua puluh satu.
Ibunya tidak sempat datang ke acara kelulusannya karena ada yang salah di tempat kerjanya di rumah kaca agrikultur kota pusat, nampaknya masalah itu sudah terselesaikan. Dinilai dari senyum lebar wanita itu, dipikir-pikir... ibunya memang sering tersenyum. Beberapa kali lebih ke arah senyum kosong. Setiap orang di Tri-City bisa berganti pekerjaan setiap tahunnya, dengan dasar kesadaran diri.
“Menakjubkan!” Ayahnya berseru di balik koran lebar berkertas daur ulang.
“Ada apa?” Rin akhirnya membuka mulut sambil menaruh jaket hijaunya di gantungan di balik pintu.
“Anak ini, umurnya dua belas tahun sekarang sudah menjadi peserta pembuktian. Kenapa kau tidak bisa pintar seperti itu, Marina?” Pria setengah botak itu mulai tertawa, terdengar menyinggung di telinga Rin. Tapi ia sepertinya sudah kebal terhadap lelucon menyengat orang tuanya.
“Terkadang ketidakpintaran dipengaruhi faktor genetik” Rin mengangkat alisnya, seperti menantang ayahnya untuk mengatakan lelucon menyengat lain.
“Itu tidak baik” Ibunya menghardik, menyentuh pundaknya lembut dalam waktu yang sama. Rin meminta maaf lalu duduk di sebelah ayahnya di kursi meja makan yang berderik saat diduduki.
“Untuk menjadi penduduk yang baik, dimulai dengan hal-hal kecil. Seperti sopan kepada orang tua” Ayahnya terdengar seperti buku pelajaran kependudukan kelas tiga. Hal ini menganggu Rin, mungkin karena ia tidak begitu setuju dengan beberapa peraturan Tri-City daripada orang tuanya dan ketiga kakaknya yang sudah lulus sejak dulu, dan sudah lolos pembuktian. Mereka orang-orang yang percaya akan dasar-dasar Tri-City dengan sepenuh hati, setidaknya itu kesan yang mereka pancarkan pada Rin.
“Tadi ibu dan seluruh pekerja di agrikultur memutuskan untuk memberikan sebagian dari biji-bijian Kota Pusat pada Kota Selatan” Ibunya menepukkan kedua tangan di depan dada.
“Bukankah itu bagus? Sangat dermawan” Ayahnya melepas kacamata baca dan meletakkan koran itu di pangkuan. Sejenak lalu menyeruput kopi di atas meja.
“Ya, sangat bagus. Apa ibu bangga?” Rin melatih dirinya sejak dulu untuk mengikuti percakapan yang menurutnya menekan itu.
“Apa kau bercanda? Sangat bangga untuk mewakili Sub City kita sebagai kontributor pangan” Ibunya lalu mengambil beberapa piring sayuran dan sedikit daging ayam sambil membicarakan panjang lebar. Rin sering melihat ibunya seperti ini. Menoleh ke kiri, ayahnya hanya terfokus pada sebuah artikel di koran. Ia menghela pelan.
“Jadi... apa kau tidak sabar untuk besok?” Ibunya tersenyum lagi, kali ini matanya tidak ikut tersenyum bersama bibirnya. Rin sudah terbiasa, meski pertanyaan ini berat, ia menjawab.
“Ya, tidak bisa menunggu” Ia melayangkan pandangan ke arah tiga foto yang ditempel di dinding ruang tamunya yang hanya beberapa langkah dari tempatnya sekarang. Helena, Amari, dan Leon. Ketiga kakaknya yang tersenyum dalam foto-foto itu. Terutama Helena, seorang Prevail lima tahun lalu. Mereka sekarang tinggal di apartemen-apartemen mereka sendiri.
“Coba lihat jika kau bisa mengalahkan Lena” Ayahnya tiba-tiba menyebut Helena, lalu tertawa kecil seolah itu menghibur lebih dari satu orang. Ibunya menatap kosong sejenak pada sepiring makanannya.
“Kita lihat saja. Aku penasaran apa saja yang dilakukan Lena, atau Leon, atau Ama di pembuktian” Rin mecoba memprovokasi sebuah jawaban dari kedua orang tuanya. Mereka melihat jauh dari matanya.
Meja itu hening, karena kecanggungan yang tercipta akibat perihal manyangkut pengalaman di Pembuktian Penduduk dilarang untuk dibicarakan, ditulis, dan bentuk dokumentasi lain.

The Citizens


Revised Prolog

Barisan pekerja-pekerja pemerintahan baru mulai jadi kacau ketika mereka memasuki gedung yang paling jarang dilihat di Tri-City. Mereka mencolok dengan seragam hitam putih mereka yang belum memudar. Gedung Pertama adalah gedung di Sub City Pusat dimana pemerintahan secara keseluruhan dijalankan. Di luarnya gedung itu terlihat hanya seperti gedung tinggi dengan tiang-tiang besi untuk menopangnya berdiri, beberapa kaca yang dulunya menutupi hampir seluruh bagian gedung sekarang ditutup menjadi tembok. Gedung itu berdiri di tengah-tengah reruntuhan bangunan-bangunan yang berdiri sebelum Tri-City, mereka dihancurkan untuk diambil batu bata dan besi-besinya yang masih dapat digunakan. Sisanya hanya dibiarkan dan di atasnya dibanguni panel-panel surya untuk pembangun tenaga listrik.
Salah satu pekerja baru hampir menganga melihat begitu banyak komputer di atas deretan-deretan meja berjajar dan melingkar, beberapa lagi lebih besar daripada yang lain. Sebuah bendera hitam berlambangkan Tri-City putih menggantung di tembok. Lambang itu merupakan tiga ekor burung melebarkan sayap dan menghadap ke pusat lambang itu. Seekor burung layang-layang, burung gagak hitam, dan burung merpati putih. Tiga burung itu dikelilingi oleh sayap melingkar yang terlihat berduri di bagian luarnya. Di antara dua ujung sayap besar terdapat angka tiga yang dilingkari cincin sempurna api.
Beberapa pekerja lain yang tengah bebas dari membuat laporan dan tugas-tugas lain mereka menyalami pekerja-pekerja baru, memberi selamat pada ‘junior’ mereka atas diterimanya di pekerjaan paling dihormati di seluruh kota.
Tiba-tiba salam-salaman itu berhenti, lebih tepatnya pekerja-pekerja ‘senior’-lah yang berhenti karena menduga sesuatu yang tidak begitu bagus hendak terjadi ketika mendengar tiga pasang langkah kaki di langkan beberapa lantai di atas mereka.
Langkan itu dibuat dari besi-besi bekas dari reruntuhan kota lama, membuat setiap langkah kaki terdengar lebih mengancam di setiap denting dari seharusnya. Pekerjapekerja senior berhambur ke meja mereka masing-masing.
“Tidak perlu takut pada kami, semua penduduk dipandang sama dan sejajar, bukankah begitu?” Seorang pria tua berkulit lebih pucat dari mayoritas seluruh orang di dalam gedung itu, matanya berwarna biru terang, dan beberapa kantong mata menghias di bawahnya berkata dengan penuh wibawa.
Seorang wanita yang cukup muda tak berseragam mengikuti di belakangnya, rambutnya yang lurus disisir ke belakang, matanya yang sipit penuh semangat. Dan di sebelahnya berjalan seorang pria yang terlihat lebih muda dari keduanya, rambutnya sedikit memerah karena terlalu banyak terekspos sinar matahari, matanya mulanya menatap tajam sekarang mulai santai, tinggi badannya tidak bisa bersaing dengan pria tua tadi, beberapa wanita dalam barisan pekerja-pekerja baru tidak melepas mata mereka darinya. Maklum, mereka rata-rata baru berusia delapan belas, dan Haris bukan sama sekali orang yang berpenampilan buruk meski memiliki luka yang cukup jelas di dekat matanya yang ia dapatkan di pembuktian. Mungkin jika dia hidup empat puluh atau lima puluh tahun yang lalu, ia akan menjadi semacam selebriti televisi. Sayangnya dunia hedonisme dulu hancur infrasturkturnya karena krisis energi dan inflasi.
“Selamat datang di gedung pertama, folks” Sapa pria tua tadi. Para pekerja baru yang mulanya hampir lari terbirit sekarang menghela napas lega. Pria itu adalah walikota Sub City Barat sejak usia tiga pluh dua, sekarang usianya enam puluh empat tahun.
“Okay... Nama-nama ini ikut aku” Walikota Sub City Pusat, wanita berambut lurus tadi memegang sebuah daftar kecil di tangannya, sedikit kusut.
“Januari AK, Sofia HM, Lia JJ, dan... Raka IZ” Nama-nama itu mungkin terlihat aneh bagi orang-orang selain di Tri-City, karena nama belakang setiap orang ditentukan oleh ururtan ke-berapa generasi sebelumnya keluarga mereka masuk ke Tri-City.
Keempat pemilik nama-nama itu diam sedikit terkejut, butuh beberapa detik untuk mereka sadar apa yang harus dilakukan dan mulai berlari-lari kecil mengikuti wanita itu.
“Alan KN, Joseph DT, Efendi SA, Farah IE, Kara GF, Kara NK” Walikota Sub City Selatan, Haris maju bersebelahan dengan Walikota Sub City Barat, gestur otoritas. Walikota Barat menyembunyikan tatapan ketidaksukaannya pada Haris.
Seketika tanpa jeda, pemilik-pemilik nama itu maju dan mengikutinya. Meski usianya hanya dua puluh satu, ketegasan dan sedikit sentuhan ego terdengar cukup jelas di nada bicaranya.
“Aku Haris DX, aku memilih kalian untuk pekerjaan yang cukup penting jadi dengarkan sebanyak-banyaknya apa yang kujelaskan dalam dua jam ke depan. Ada pertanyaan?” Ujarnya cepat sambil berjalan pula.
“Apa pekerjaan itu?” Sebuah suara bertanya dari belakang tubuh jangkung salah seorang co-workernya.
“Kalian akan menjadi bagian dari komite penilai di Pembuktian Penduduk tahun ini, lanjut ke berjalan” Haris kembali memimpin grup kecil itu lebih dalam ke dalam gedung. Mereka dipilihnya karena satu alasan khusus.