Revised chapter 1
Kota Barat
Arvin melempar pandangan kecil pada
kakaknya seolah berkata “Jangan melihatku seperti itu!”. Alma tertawa dalam
hati melihat adiknya berpakaian begitu rapi dan bersihnya, tidak seperti
hari-hari biaasanya dimana Arvin tidak peduli akan rambutnya dan beberapa noda
di bajunya tak terurus. Biasanya penampilan lusuh sehari-hari Arvin disebabkan
dari kegiatan mengutak-atik komputer bersama anak-anak ‘Tech’, sebutan penggila
komputer di sekolah mereka. Tidak banyak orang yang bisa menggunakan komputer
di Tri-City, karena komputer hanya terdapat di fasilitas-fasilitas pemerintah
dan sekolah-sekolah tertentu. Ia adalah salah satu tech yang beruntung bisa
melompat dua tahun kelas.
Hari ini banyak anak yang berpakaian
lebih rapi dari biasanya. Tentu saja! Hari ini adalah hari kelulusan ke-41 di
Tri-City, hari yang besar. Sehari setelah kelulusan, para lulusan akan
diwajibkan ikut dalam Pembuktian Penduduk.
“Gaun yang bagus, Al” Ujar Erik,
teman dekat mereka setengah sarkastik pada Alma, meledek gaun sepanjang lutut
berwarna kuning pudar yang dipakai Alma. Erik terlihat rapi seperti biasanya,
tapi kali ini Erik benar-benar mandi pagi.
Mereka sudah berteman baik sejak
kecil, semakin mereka tumbuh semakin banyak mereka mengejek satu sama lain
untuk kesenangan. Banyak yang berpikir mereka aneh, tapi ketiganya tak begitu
peduli.
“Ya, terima kasih untuk pujiannya”
Alma balik sarkastik.
“Sama-sama. Vin, wah... aku jadi
ingat karpet yang baru dicuci” Erik menunjuk ke rambut Arvin yang dengan
rapinya terlumuri minyak rambut. Alma dan Erik meledak tertawa memegang perut
mereka.
“Alma yang menatanya, ide buruk,
bukan?” Arvin menggeleng dengan cepat, agar minyak rambut yang sungguh
berlebihan menciprat kesana-kemari dan lepas dari kepalanya.
“Hentikan, monster minyak!” Alma
mendramatisir tanpa berhenti tertawa. Untuk ukuran anak tujuh belas tahun, Alma
memang sedikit kekanakan. Sedangkan, Arvin yanng usianya di akhir-akhir usia ke
lima belasnya masih bisa dianggap normal dengan kekanakan itu.
“Kau bisa menggoreng ikan dengan
minyak sebanyak itu” Arvin bercanda. Tentu saja tidak akan bisa, minyak yang
mereka gunakan harus berbeda.
Beberapa anak menoleh tidak enak ke
arah mereka karena mencoloknya tingkah ketiganya. Tapi semua anak yang sedang
menunggu bus terlihat mencolok dengan pakaian rapi mereka di antara
gedung-gedung apartemen yang sudah termakan usia dan hamparan tanah yang tidak
begitu subur. Kota Barat memang bukan area yang hijau, tapi mereka merupakan
bagian yang sama pentingnya di Tri-City.
“Bus sudah dekat” Erik merangkulkan
tangan kanannya ke pundak Alma, menyebabkan kecanggungan singkat antara ketiganya.
Melihat kakaknya dengan sahabatnya ‘dekat’ memang masih baru untuk Arvin.
Bus berwarna putih sekaligus karat berhenti
tepat di depan tanda jalan di depan mereka. Menunggu anak-anak lain masuk ke
dalam mesin transportasi tua di depan mereka memang tidak bisa dibilang
menyenangkan dengan pandangan-pandangan masam dari anak-anak itu. Tidak mudah
menjadi anak-anak pemberontak. Mungkin hal ini salah satu alasan mengapa mereka
berteman dari awal, mereka sama-sama mempunyai salah satu orang tua di cap
sebagai pemberontak yang dikeluarkan dari kota.
Seperti biasa, Arvin, Alma dan Erik
duduk di tempat duduk paling belakang dengan salah satu tetangga se-gedung
mereka, Una. Una bukan orang ter-favorit mereka.
“Selamat untuk kelulusan kalian” Una
menjabat tangan mereka satu per satu, kesannya terpaksa. Rambut Una yang
dikuncir ke belakang rapat mengibas ke kiri dan kanan.
“Terima kasih, Una. Kau juga” Alma
mencoba tersenyum ramah, tapi terkesan tidak seratus persen tulus.
“Hari cerah bukannya?” Arvin dengan
ringan tersenyum pada gadis berkuncir itu. Memang Arvin tergolong orang yang
mudah bergaul, meski tidak senang bergaul dengannya, Arvin tidak kesulitan
bercakap ringan dengan ‘musuh’ masa kecilnya.
“Ya” Jawab gadis itu singkat.
Erik mendehem keras lalu duduk ke tempat
duduk biasanya di dekat jendela. Tanpa aba-aba Alma duduk di sebelah Erik,
sedikit menyandar ke anak laki-laki itu. Arvin memutar bola mata pada adegan
romance kecil mereka.
“Hanya lima belas menit jaraknya ke
sekolah, suportive sedikit lah, jenius” Alma tersenyum hangat pada adiknya,
mencoba menghilangkan kecanggungan rutin yang terjadi tiap saat ia mendekat
dengan Erik.
Arvin menghela, kemudian duduk di
tempat duduk yang biasa ditempatinya, tepat di sebelah Una. Bagus... Pikirnya
mengeluh. Tetapi mengeluh secara fisik bukanlah kebiasaan penduduk Tri-City,
Arvin tersenyum sendiri mengingat masa kecilnya dimana saat ia tidak dapat yang
diinginkannya, ia akan berteriak sambil menangis “Aku ingin keluar dari
Tri-City!” berkali-kali. Hal yang tidak mungkin Arvin, Alma atu siapapun akan
katakan saat sudah memiliki akal yang benar. Orang tuanya selalu menegurnya,
ibunya sering menggendong lalu bernyanyi di pelan dekat telinganya.
Kelaurganya, hanya tinggal ayahnya, Alma, dan dia. Cukup! Bentaknya pada diri sendiri
dalam hati.
Rupanya Una sedang memandanginya
aneh, seolah berkata “Apa kau gila?”. Ia sadar ekspresi wajah tidak bisa
dibilang menyembunyikan pikiran.
Arvin menoleh ke arah lain, memutuskan untuk
tidak terlibat dalam kecanggungan. Terdengar Alma dan Erik sedang berdebat
tentang Prevail. Prevail adalah pemeroleh skor tertinggi di setiap pembuktian,
meskipun skor semua pesertanya tidak ditunjukkan kecuali jika kau seorang
Prevail. Tetap saja, mendapat skor tertinggi di pembuktian merupakan kehormatan
tersendiri sejak banyak orang yang mengatakan pembuktian adalah hal tersulit
yang mereka hadapi seumur hidup.
Tidak banyak yang anak-anak itu
ketahui tentangnya, kecuali jika kau gagal, kau keluar dari kota. Itu saja. Dan
akan dipilih satu hingga tiga orang Prevail (pemeroleh skor tertinggi di
Pembuktian) yang pastinya akan mendapat pekerjaan di pemerintahan atau Patron
(penegak hukum Tri-City).
Tidak ada yang boleh membicarakan pengalaman
mereka di pembuktian, bahkan pada keluarga mereka. Mereka hanya dapat berkata
hal seperti ‘hal tersulit yang pernah aku hadapi’. Arvin mengerutkan dahi pada
pemikirannya.
Bus berhenti, memecahkan lamunan
beratnya. Di luar jendela berdiri sebuah sekolah yang merupakan bangunan lebar
bertingkat lima, terdapat jam berukuran berpuluh-puluh kali ukuran jam dinding
biasa, menunjukkan waktu masuk sekolah. Tapi kali ini sekolah diliburkan untuk
acara kelulusan mereka.
Sekolah itu sudah retak di sana-sini
samar-samar. Sudah berdiri sejak pertama kali Tri-City dibentuk dan sejak itu
tidak banyak yang diperbarui dan diperbaiki.
Pertama kali Arvin masuk ke sekolah,
dia takut jika sekolah itu akan roboh di tengah-tengah jam belajar. Tapi itu
sudah sepuluh tahun lalu, toh sekolah itu masih berdiri tapi kondisisnya makin
mengkhawatirkan.
“Apa-apaan?” Ia berpikir sendiri
sambil mendesak-desak menuju dekat jendela. Erik dan Alma juga bverebut
mendekat ke jendela, menimbulkan seberkas embun di kacanya sebab napas mereka.
Di depan sekolah mereka, tepatnya di
halamannya. Berdiri kerumunan orangtua dan mereka bertepuk tangan. Wajah mereka
terlihat senang sekaligus lelah, sebagian besar dari mereka.
Arvin dan hampir semua anak di bus
tidak dapat menahan senyum mereka. Kelulusan bukan hal yang buruk, pikirnya
saat melihat sosok gembira ayahnya yang bertepuk tangan di pinggir trotoar
jalan tua. Pria itu berdiri sendiri, lagi-lagi sendiri sejak istrinya
dikeluarkan dari kota. Tak tahu apa
nasib wanita itu, komunikasi antar Tri-City dan luar teritory di larang.
Kota Pusat
“Tri-City dibentuk di tengah dunia
sedang pada titik terburuknya” Pidato Kepala Sekolah Sub City Pusat 2 menggema
di sekitar ruangan karena volume stereonya terlalu keras. Suara itu
memantul-mantul di tembok abu-bu tak bercat dan lantai berkeramik usangnya. Rin
mengerutkan dahi, menahan keinginannya untuk memprotes atas telinganya yang
mulai sakit.
“Aku sangat ingin ke kamar mandi
sekarang” Frida mengimpit kaki untuk menahan instingnya untuk buang air.
“Pegang tanganku” Ujar Rin
mencari-cari tangan sepupunya.
“Apa ini membantu?” Suara Frida
mulai terdengar putus asa.
“Tidak, aku hanya ingin suasana so
sweet” Balas Rin sambil sebuah senyum mulai menarik ujung-ujung bibirnya.
“Pegang tanganku juga” Dennis melempar
sepotong roti suguhan ke arah Rin. Mereka bertiga sekeluarga, Dennis dan Frida
merupakan saudara kembar fraternal dan Rin adalah sepupu mereka dari sisi ibu
Rin.
“Dan kenapa aku ingin melakukan
itu?” Frida menjulurkan lidah ke arah kembarannya. Rin melempar pandangan mengejek
pada Dennis sebelum kembali memeperhatikan pidato.
Di sebelah Dennis duduk kedua orang tuanya,
“Pegang tangan ibu saja” Ibu Dennis
dengan semangat, membuat anaknya menyembunyikan muka, malu. Orangtua Rin tidak
sempat datang karena ibunya sedang ada masalah di tempat kerjanya; greenhouse
4, dan ayahnya... Rin tidak begitu tertarik untuk bertanya mengapa.
“Setiap tahun kota kita mengadakan
Pembuktian Peduduk” Lanjut pidato itu. Rin kembali bergurau bersama Frida,
mengalihkan perhatian sepupunya itu dari kebutuhan kamar mandi.
“Ah jangan bahas Lena, aku tidak
akan bisa menyamainya” Ia bersandar ke kursi kurang empuk tempat duduknya yang
sama seperti semua tempat duduk di aula itu.
“Ok, ok... Apa yang kau inginkan
setelah pembuktian? Aku ingin bekerja di peternakan” Frida menyibak rambut ke
belakang punggung dengan santai.
“Hm... aku tidak tahu... Patron?
Pfft Yang penting aku tidak gagal” Rin tersenyum ringan.
“Agar kita bisa membedakan mana yang
memiliki kualitas-kualitas terbaik untuk dikembangkan di kota kita dan mana
yang tidak berhak atas hak-hak yang disediakan di kota kita” Lanjut Kepala
Sekolah berambut putih setengah hitam itu. Reaksi menurut ekspresi wajah para
orang tua lulusan berbeda-beda setelah bagian pidato itu disebut.
“Wow... sangat optimis” Frida
meledeknya dengan nada sarkastik, setengah memperhatikan pidato.
“Ya, seperti yang kau tahu. Aku
penuh dengan harapan” Balasnya dengan lebih sarkastik, tapi dengan sentuhan
gurau yang pas.
“Dan saya harap kalian semua lolos
pembuktian, karena saya yakin bahwa sekolah ini...” Pria itu kembali melihat
teks. Rin dan Frida sambil lalu bergurau lagi.
“Telah mendidik penduduk-penduduk
yang baik... Prevail terbaru dari sekolah ini adalah Helena DK, seraya menjadi
simbol kelayakan sekolah kita” Potongan pidato itu membuat Rin membelalak
kaget, sambil semua mata tertuju padanya sebagai adik pemilik nama itu.
“Tetapi untuk mereka yang tidak
lolos dalam pembuktian, mereka tidak membuktikan kelayakan mereka untuk tinggal
di kota kita. Maka untuk kebaikan bersama, mereka tidak diperbolehkan untuk
tinggal” Pidato itu ternyata berakhir sedikit suram. Terlihat dari jumlah tepuk
tangan yang didapatnya, sedikit sepi untuk seribu dua puluh lulusan dan orang
tua mereka bukannya?
Rin berjalan dibawah bayangan
pohon-pohon di sepanjang jalan raya beraspal pecah-pecah menuju rumahnya. Acara
kelulusan yang penuh dengan pidato dan tepuk tangan akhirnya selesai, tapi
sayangnya bus yang dijadwalkan untuk mengantar lulusan-lulusan pulang hanya
untuk mereka yang tinggal minimal 1,5 kilometer. Dengan dasar peraturan: Semua
penduduk yang resmi dewasa dan tamat pendidikan
tidak lagi berhak atas fasilitas transportasi bantuan kecuali memiliki
kepentingan yang jaraknya 1,5 kilometer dari posisi awal. Ia hafal banyak hal
tentang perauturan kota, orang tuanya selalu menyuruhnya menghafal sejak kecil.
Hanya ada dua puluh peraturan, tidak banyak bukan? Tapi konsekuensi tiap
pelanggaran tidak sedikit.
Ada beberapa anak seusianya, lulusan
lain yang tinggal di gedung yang sama dengan keluarganya. Mereka sekarang
sedang menunggunya melakukan sesuatu pada pintu lift yang tidak bisa terbuka.
Ia menekan beberapa tombol secara beraturan, tak disangka pintu lift reot di
depannya terbuka.
“Kita siap untuk makan siang, cepat
masuk dan lepas jaket baumu itu” Ibunya menunggu di ambang pintu apartemen
keluarganya yang terletak di lantai dua puluh satu.
Ibunya tidak sempat datang ke acara
kelulusannya karena ada yang salah di tempat kerjanya di rumah kaca agrikultur
kota pusat, nampaknya masalah itu sudah terselesaikan. Dinilai dari senyum
lebar wanita itu, dipikir-pikir... ibunya memang sering tersenyum. Beberapa
kali lebih ke arah senyum kosong. Setiap orang di Tri-City bisa berganti
pekerjaan setiap tahunnya, dengan dasar kesadaran diri.
“Menakjubkan!” Ayahnya berseru di
balik koran lebar berkertas daur ulang.
“Ada apa?” Rin akhirnya membuka
mulut sambil menaruh jaket hijaunya di gantungan di balik pintu.
“Anak ini, umurnya dua belas tahun
sekarang sudah menjadi peserta pembuktian. Kenapa kau tidak bisa pintar seperti
itu, Marina?” Pria setengah botak itu mulai tertawa, terdengar menyinggung di
telinga Rin. Tapi ia sepertinya sudah kebal terhadap lelucon menyengat orang
tuanya.
“Terkadang ketidakpintaran
dipengaruhi faktor genetik” Rin mengangkat alisnya, seperti menantang ayahnya
untuk mengatakan lelucon menyengat lain.
“Itu tidak baik” Ibunya menghardik,
menyentuh pundaknya lembut dalam waktu yang sama. Rin meminta maaf lalu duduk
di sebelah ayahnya di kursi meja makan yang berderik saat diduduki.
“Untuk menjadi penduduk yang baik,
dimulai dengan hal-hal kecil. Seperti sopan kepada orang tua” Ayahnya terdengar
seperti buku pelajaran kependudukan kelas tiga. Hal ini menganggu Rin, mungkin
karena ia tidak begitu setuju dengan beberapa peraturan Tri-City daripada orang
tuanya dan ketiga kakaknya yang sudah lulus sejak dulu, dan sudah lolos
pembuktian. Mereka orang-orang yang percaya akan dasar-dasar Tri-City dengan
sepenuh hati, setidaknya itu kesan yang mereka pancarkan pada Rin.
“Tadi ibu dan seluruh pekerja di
agrikultur memutuskan untuk memberikan sebagian dari biji-bijian Kota Pusat
pada Kota Selatan” Ibunya menepukkan kedua tangan di depan dada.
“Bukankah itu bagus? Sangat
dermawan” Ayahnya melepas kacamata baca dan meletakkan koran itu di pangkuan.
Sejenak lalu menyeruput kopi di atas meja.
“Ya, sangat bagus. Apa ibu bangga?”
Rin melatih dirinya sejak dulu untuk mengikuti percakapan yang menurutnya
menekan itu.
“Apa kau bercanda? Sangat bangga
untuk mewakili Sub City kita sebagai kontributor pangan” Ibunya lalu mengambil
beberapa piring sayuran dan sedikit daging ayam sambil membicarakan panjang
lebar. Rin sering melihat ibunya seperti ini. Menoleh ke kiri, ayahnya hanya
terfokus pada sebuah artikel di koran. Ia menghela pelan.
“Jadi... apa kau tidak sabar untuk
besok?” Ibunya tersenyum lagi, kali ini matanya tidak ikut tersenyum bersama
bibirnya. Rin sudah terbiasa, meski pertanyaan ini berat, ia menjawab.
“Ya, tidak bisa menunggu” Ia
melayangkan pandangan ke arah tiga foto yang ditempel di dinding ruang tamunya
yang hanya beberapa langkah dari tempatnya sekarang. Helena, Amari, dan Leon.
Ketiga kakaknya yang tersenyum dalam foto-foto itu. Terutama Helena, seorang
Prevail lima tahun lalu. Mereka sekarang tinggal di apartemen-apartemen mereka
sendiri.
“Coba lihat jika kau bisa
mengalahkan Lena” Ayahnya tiba-tiba menyebut Helena, lalu tertawa kecil seolah
itu menghibur lebih dari satu orang. Ibunya menatap kosong sejenak pada
sepiring makanannya.
“Kita lihat saja. Aku penasaran apa
saja yang dilakukan Lena, atau Leon, atau Ama di pembuktian” Rin mecoba memprovokasi
sebuah jawaban dari kedua orang tuanya. Mereka melihat jauh dari matanya.
Meja itu hening, karena kecanggungan
yang tercipta akibat perihal manyangkut pengalaman di Pembuktian Penduduk
dilarang untuk dibicarakan, ditulis, dan bentuk dokumentasi lain.
No comments:
Post a Comment