Wednesday, November 14, 2012

The Citzens - Bab 1


Revised chapter 1

Kota Barat
Arvin melempar pandangan kecil pada kakaknya seolah berkata “Jangan melihatku seperti itu!”. Alma tertawa dalam hati melihat adiknya berpakaian begitu rapi dan bersihnya, tidak seperti hari-hari biaasanya dimana Arvin tidak peduli akan rambutnya dan beberapa noda di bajunya tak terurus. Biasanya penampilan lusuh sehari-hari Arvin disebabkan dari kegiatan mengutak-atik komputer bersama anak-anak ‘Tech’, sebutan penggila komputer di sekolah mereka. Tidak banyak orang yang bisa menggunakan komputer di Tri-City, karena komputer hanya terdapat di fasilitas-fasilitas pemerintah dan sekolah-sekolah tertentu. Ia adalah salah satu tech yang beruntung bisa melompat dua tahun kelas.
Hari ini banyak anak yang berpakaian lebih rapi dari biasanya. Tentu saja! Hari ini adalah hari kelulusan ke-41 di Tri-City, hari yang besar. Sehari setelah kelulusan, para lulusan akan diwajibkan ikut dalam Pembuktian Penduduk.
“Gaun yang bagus, Al” Ujar Erik, teman dekat mereka setengah sarkastik pada Alma, meledek gaun sepanjang lutut berwarna kuning pudar yang dipakai Alma. Erik terlihat rapi seperti biasanya, tapi kali ini Erik benar-benar mandi pagi.
Mereka sudah berteman baik sejak kecil, semakin mereka tumbuh semakin banyak mereka mengejek satu sama lain untuk kesenangan. Banyak yang berpikir mereka aneh, tapi ketiganya tak begitu peduli.
“Ya, terima kasih untuk pujiannya” Alma balik sarkastik.
“Sama-sama. Vin, wah... aku jadi ingat karpet yang baru dicuci” Erik menunjuk ke rambut Arvin yang dengan rapinya terlumuri minyak rambut. Alma dan Erik meledak tertawa memegang perut mereka.
“Alma yang menatanya, ide buruk, bukan?” Arvin menggeleng dengan cepat, agar minyak rambut yang sungguh berlebihan menciprat kesana-kemari dan lepas dari kepalanya.
“Hentikan, monster minyak!” Alma mendramatisir tanpa berhenti tertawa. Untuk ukuran anak tujuh belas tahun, Alma memang sedikit kekanakan. Sedangkan, Arvin yanng usianya di akhir-akhir usia ke lima belasnya masih bisa dianggap normal dengan kekanakan itu.
“Kau bisa menggoreng ikan dengan minyak sebanyak itu” Arvin bercanda. Tentu saja tidak akan bisa, minyak yang mereka gunakan harus berbeda.
Beberapa anak menoleh tidak enak ke arah mereka karena mencoloknya tingkah ketiganya. Tapi semua anak yang sedang menunggu bus terlihat mencolok dengan pakaian rapi mereka di antara gedung-gedung apartemen yang sudah termakan usia dan hamparan tanah yang tidak begitu subur. Kota Barat memang bukan area yang hijau, tapi mereka merupakan bagian yang sama pentingnya di Tri-City.
“Bus sudah dekat” Erik merangkulkan tangan kanannya ke pundak Alma, menyebabkan kecanggungan singkat antara ketiganya. Melihat kakaknya dengan sahabatnya ‘dekat’ memang masih baru untuk Arvin.
 Bus berwarna putih sekaligus karat berhenti tepat di depan tanda jalan di depan mereka. Menunggu anak-anak lain masuk ke dalam mesin transportasi tua di depan mereka memang tidak bisa dibilang menyenangkan dengan pandangan-pandangan masam dari anak-anak itu. Tidak mudah menjadi anak-anak pemberontak. Mungkin hal ini salah satu alasan mengapa mereka berteman dari awal, mereka sama-sama mempunyai salah satu orang tua di cap sebagai pemberontak yang dikeluarkan dari kota.
Seperti biasa, Arvin, Alma dan Erik duduk di tempat duduk paling belakang dengan salah satu tetangga se-gedung mereka, Una. Una bukan orang ter-favorit mereka.
“Selamat untuk kelulusan kalian” Una menjabat tangan mereka satu per satu, kesannya terpaksa. Rambut Una yang dikuncir ke belakang rapat mengibas ke kiri dan kanan.
“Terima kasih, Una. Kau juga” Alma mencoba tersenyum ramah, tapi terkesan tidak seratus persen tulus.
“Hari cerah bukannya?” Arvin dengan ringan tersenyum pada gadis berkuncir itu. Memang Arvin tergolong orang yang mudah bergaul, meski tidak senang bergaul dengannya, Arvin tidak kesulitan bercakap ringan dengan ‘musuh’ masa kecilnya.
“Ya” Jawab gadis itu singkat.
Erik mendehem keras lalu duduk ke tempat duduk biasanya di dekat jendela. Tanpa aba-aba Alma duduk di sebelah Erik, sedikit menyandar ke anak laki-laki itu. Arvin memutar bola mata pada adegan romance kecil mereka.
“Hanya lima belas menit jaraknya ke sekolah, suportive sedikit lah, jenius” Alma tersenyum hangat pada adiknya, mencoba menghilangkan kecanggungan rutin yang terjadi tiap saat ia mendekat dengan Erik.
Arvin menghela, kemudian duduk di tempat duduk yang biasa ditempatinya, tepat di sebelah Una. Bagus... Pikirnya mengeluh. Tetapi mengeluh secara fisik bukanlah kebiasaan penduduk Tri-City, Arvin tersenyum sendiri mengingat masa kecilnya dimana saat ia tidak dapat yang diinginkannya, ia akan berteriak sambil menangis “Aku ingin keluar dari Tri-City!” berkali-kali. Hal yang tidak mungkin Arvin, Alma atu siapapun akan katakan saat sudah memiliki akal yang benar. Orang tuanya selalu menegurnya, ibunya sering menggendong lalu bernyanyi di pelan dekat telinganya. Kelaurganya, hanya tinggal ayahnya, Alma, dan dia. Cukup! Bentaknya pada diri sendiri dalam hati.
Rupanya Una sedang memandanginya aneh, seolah berkata “Apa kau gila?”. Ia sadar ekspresi wajah tidak bisa dibilang menyembunyikan pikiran.
 Arvin menoleh ke arah lain, memutuskan untuk tidak terlibat dalam kecanggungan. Terdengar Alma dan Erik sedang berdebat tentang Prevail. Prevail adalah pemeroleh skor tertinggi di setiap pembuktian, meskipun skor semua pesertanya tidak ditunjukkan kecuali jika kau seorang Prevail. Tetap saja, mendapat skor tertinggi di pembuktian merupakan kehormatan tersendiri sejak banyak orang yang mengatakan pembuktian adalah hal tersulit yang mereka hadapi seumur hidup.
Tidak banyak yang anak-anak itu ketahui tentangnya, kecuali jika kau gagal, kau keluar dari kota. Itu saja. Dan akan dipilih satu hingga tiga orang Prevail (pemeroleh skor tertinggi di Pembuktian) yang pastinya akan mendapat pekerjaan di pemerintahan atau Patron (penegak hukum Tri-City).
 Tidak ada yang boleh membicarakan pengalaman mereka di pembuktian, bahkan pada keluarga mereka. Mereka hanya dapat berkata hal seperti ‘hal tersulit yang pernah aku hadapi’. Arvin mengerutkan dahi pada pemikirannya.
Bus berhenti, memecahkan lamunan beratnya. Di luar jendela berdiri sebuah sekolah yang merupakan bangunan lebar bertingkat lima, terdapat jam berukuran berpuluh-puluh kali ukuran jam dinding biasa, menunjukkan waktu masuk sekolah. Tapi kali ini sekolah diliburkan untuk acara kelulusan mereka.
Sekolah itu sudah retak di sana-sini samar-samar. Sudah berdiri sejak pertama kali Tri-City dibentuk dan sejak itu tidak banyak yang diperbarui dan diperbaiki.
Pertama kali Arvin masuk ke sekolah, dia takut jika sekolah itu akan roboh di tengah-tengah jam belajar. Tapi itu sudah sepuluh tahun lalu, toh sekolah itu masih berdiri tapi kondisisnya makin mengkhawatirkan.
“Apa-apaan?” Ia berpikir sendiri sambil mendesak-desak menuju dekat jendela. Erik dan Alma juga bverebut mendekat ke jendela, menimbulkan seberkas embun di kacanya sebab napas mereka.
Di depan sekolah mereka, tepatnya di halamannya. Berdiri kerumunan orangtua dan mereka bertepuk tangan. Wajah mereka terlihat senang sekaligus lelah, sebagian besar dari mereka.
Arvin dan hampir semua anak di bus tidak dapat menahan senyum mereka. Kelulusan bukan hal yang buruk, pikirnya saat melihat sosok gembira ayahnya yang bertepuk tangan di pinggir trotoar jalan tua. Pria itu berdiri sendiri, lagi-lagi sendiri sejak istrinya dikeluarkan dari kota. Tak  tahu apa nasib wanita itu, komunikasi antar Tri-City dan luar teritory di larang.


Kota Pusat
“Tri-City dibentuk di tengah dunia sedang pada titik terburuknya” Pidato Kepala Sekolah Sub City Pusat 2 menggema di sekitar ruangan karena volume stereonya terlalu keras. Suara itu memantul-mantul di tembok abu-bu tak bercat dan lantai berkeramik usangnya. Rin mengerutkan dahi, menahan keinginannya untuk memprotes atas telinganya yang mulai sakit.
“Aku sangat ingin ke kamar mandi sekarang” Frida mengimpit kaki untuk menahan instingnya untuk buang air.
“Pegang tanganku” Ujar Rin mencari-cari tangan sepupunya.
“Apa ini membantu?” Suara Frida mulai terdengar putus asa.
“Tidak, aku hanya ingin suasana so sweet” Balas Rin sambil sebuah senyum mulai menarik ujung-ujung bibirnya.
“Pegang tanganku juga” Dennis melempar sepotong roti suguhan ke arah Rin. Mereka bertiga sekeluarga, Dennis dan Frida merupakan saudara kembar fraternal dan Rin adalah sepupu mereka dari sisi ibu Rin.
“Dan kenapa aku ingin melakukan itu?” Frida menjulurkan lidah ke arah kembarannya. Rin melempar pandangan mengejek pada Dennis sebelum kembali memeperhatikan pidato.
 Di sebelah Dennis duduk kedua orang tuanya,
“Pegang tangan ibu saja” Ibu Dennis dengan semangat, membuat anaknya menyembunyikan muka, malu. Orangtua Rin tidak sempat datang karena ibunya sedang ada masalah di tempat kerjanya; greenhouse 4, dan ayahnya... Rin tidak begitu tertarik untuk bertanya mengapa.
“Setiap tahun kota kita mengadakan Pembuktian Peduduk” Lanjut pidato itu. Rin kembali bergurau bersama Frida, mengalihkan perhatian sepupunya itu dari kebutuhan kamar mandi.
“Ah jangan bahas Lena, aku tidak akan bisa menyamainya” Ia bersandar ke kursi kurang empuk tempat duduknya yang sama seperti semua tempat duduk di aula itu.
“Ok, ok... Apa yang kau inginkan setelah pembuktian? Aku ingin bekerja di peternakan” Frida menyibak rambut ke belakang punggung dengan santai.
“Hm... aku tidak tahu... Patron? Pfft Yang penting aku tidak gagal” Rin tersenyum ringan.
“Agar kita bisa membedakan mana yang memiliki kualitas-kualitas terbaik untuk dikembangkan di kota kita dan mana yang tidak berhak atas hak-hak yang disediakan di kota kita” Lanjut Kepala Sekolah berambut putih setengah hitam itu. Reaksi menurut ekspresi wajah para orang tua lulusan berbeda-beda setelah bagian pidato itu disebut.
“Wow... sangat optimis” Frida meledeknya dengan nada sarkastik, setengah memperhatikan pidato.
“Ya, seperti yang kau tahu. Aku penuh dengan harapan” Balasnya dengan lebih sarkastik, tapi dengan sentuhan gurau yang pas.
“Dan saya harap kalian semua lolos pembuktian, karena saya yakin bahwa sekolah ini...” Pria itu kembali melihat teks. Rin dan Frida sambil lalu bergurau lagi.
“Telah mendidik penduduk-penduduk yang baik... Prevail terbaru dari sekolah ini adalah Helena DK, seraya menjadi simbol kelayakan sekolah kita” Potongan pidato itu membuat Rin membelalak kaget, sambil semua mata tertuju padanya sebagai adik pemilik nama itu.
“Tetapi untuk mereka yang tidak lolos dalam pembuktian, mereka tidak membuktikan kelayakan mereka untuk tinggal di kota kita. Maka untuk kebaikan bersama, mereka tidak diperbolehkan untuk tinggal” Pidato itu ternyata berakhir sedikit suram. Terlihat dari jumlah tepuk tangan yang didapatnya, sedikit sepi untuk seribu dua puluh lulusan dan orang tua mereka bukannya?
Rin berjalan dibawah bayangan pohon-pohon di sepanjang jalan raya beraspal pecah-pecah menuju rumahnya. Acara kelulusan yang penuh dengan pidato dan tepuk tangan akhirnya selesai, tapi sayangnya bus yang dijadwalkan untuk mengantar lulusan-lulusan pulang hanya untuk mereka yang tinggal minimal 1,5 kilometer. Dengan dasar peraturan: Semua penduduk yang resmi dewasa dan tamat pendidikan  tidak lagi berhak atas fasilitas transportasi bantuan kecuali memiliki kepentingan yang jaraknya 1,5 kilometer dari posisi awal. Ia hafal banyak hal tentang perauturan kota, orang tuanya selalu menyuruhnya menghafal sejak kecil. Hanya ada dua puluh peraturan, tidak banyak bukan? Tapi konsekuensi tiap pelanggaran tidak sedikit.
Ada beberapa anak seusianya, lulusan lain yang tinggal di gedung yang sama dengan keluarganya. Mereka sekarang sedang menunggunya melakukan sesuatu pada pintu lift yang tidak bisa terbuka. Ia menekan beberapa tombol secara beraturan, tak disangka pintu lift reot di depannya terbuka.
“Kita siap untuk makan siang, cepat masuk dan lepas jaket baumu itu” Ibunya menunggu di ambang pintu apartemen keluarganya yang terletak di lantai dua puluh satu.
Ibunya tidak sempat datang ke acara kelulusannya karena ada yang salah di tempat kerjanya di rumah kaca agrikultur kota pusat, nampaknya masalah itu sudah terselesaikan. Dinilai dari senyum lebar wanita itu, dipikir-pikir... ibunya memang sering tersenyum. Beberapa kali lebih ke arah senyum kosong. Setiap orang di Tri-City bisa berganti pekerjaan setiap tahunnya, dengan dasar kesadaran diri.
“Menakjubkan!” Ayahnya berseru di balik koran lebar berkertas daur ulang.
“Ada apa?” Rin akhirnya membuka mulut sambil menaruh jaket hijaunya di gantungan di balik pintu.
“Anak ini, umurnya dua belas tahun sekarang sudah menjadi peserta pembuktian. Kenapa kau tidak bisa pintar seperti itu, Marina?” Pria setengah botak itu mulai tertawa, terdengar menyinggung di telinga Rin. Tapi ia sepertinya sudah kebal terhadap lelucon menyengat orang tuanya.
“Terkadang ketidakpintaran dipengaruhi faktor genetik” Rin mengangkat alisnya, seperti menantang ayahnya untuk mengatakan lelucon menyengat lain.
“Itu tidak baik” Ibunya menghardik, menyentuh pundaknya lembut dalam waktu yang sama. Rin meminta maaf lalu duduk di sebelah ayahnya di kursi meja makan yang berderik saat diduduki.
“Untuk menjadi penduduk yang baik, dimulai dengan hal-hal kecil. Seperti sopan kepada orang tua” Ayahnya terdengar seperti buku pelajaran kependudukan kelas tiga. Hal ini menganggu Rin, mungkin karena ia tidak begitu setuju dengan beberapa peraturan Tri-City daripada orang tuanya dan ketiga kakaknya yang sudah lulus sejak dulu, dan sudah lolos pembuktian. Mereka orang-orang yang percaya akan dasar-dasar Tri-City dengan sepenuh hati, setidaknya itu kesan yang mereka pancarkan pada Rin.
“Tadi ibu dan seluruh pekerja di agrikultur memutuskan untuk memberikan sebagian dari biji-bijian Kota Pusat pada Kota Selatan” Ibunya menepukkan kedua tangan di depan dada.
“Bukankah itu bagus? Sangat dermawan” Ayahnya melepas kacamata baca dan meletakkan koran itu di pangkuan. Sejenak lalu menyeruput kopi di atas meja.
“Ya, sangat bagus. Apa ibu bangga?” Rin melatih dirinya sejak dulu untuk mengikuti percakapan yang menurutnya menekan itu.
“Apa kau bercanda? Sangat bangga untuk mewakili Sub City kita sebagai kontributor pangan” Ibunya lalu mengambil beberapa piring sayuran dan sedikit daging ayam sambil membicarakan panjang lebar. Rin sering melihat ibunya seperti ini. Menoleh ke kiri, ayahnya hanya terfokus pada sebuah artikel di koran. Ia menghela pelan.
“Jadi... apa kau tidak sabar untuk besok?” Ibunya tersenyum lagi, kali ini matanya tidak ikut tersenyum bersama bibirnya. Rin sudah terbiasa, meski pertanyaan ini berat, ia menjawab.
“Ya, tidak bisa menunggu” Ia melayangkan pandangan ke arah tiga foto yang ditempel di dinding ruang tamunya yang hanya beberapa langkah dari tempatnya sekarang. Helena, Amari, dan Leon. Ketiga kakaknya yang tersenyum dalam foto-foto itu. Terutama Helena, seorang Prevail lima tahun lalu. Mereka sekarang tinggal di apartemen-apartemen mereka sendiri.
“Coba lihat jika kau bisa mengalahkan Lena” Ayahnya tiba-tiba menyebut Helena, lalu tertawa kecil seolah itu menghibur lebih dari satu orang. Ibunya menatap kosong sejenak pada sepiring makanannya.
“Kita lihat saja. Aku penasaran apa saja yang dilakukan Lena, atau Leon, atau Ama di pembuktian” Rin mecoba memprovokasi sebuah jawaban dari kedua orang tuanya. Mereka melihat jauh dari matanya.
Meja itu hening, karena kecanggungan yang tercipta akibat perihal manyangkut pengalaman di Pembuktian Penduduk dilarang untuk dibicarakan, ditulis, dan bentuk dokumentasi lain.

No comments:

Post a Comment