Wednesday, November 14, 2012

The Citizens - Bab 2



Revised Chapter 2

Mengapa bus menuju pembuktian harus berangkat lebih pagi dari jam sekolah? Tiga jam lebih pagi. Karena bus-bus yang mereka gunakan kecepatannya jauh lebih lambat dari kendaraan-kendaraan di negara lama dulunya. Rin masih berusaha melawan kantuk dengan segelas besar kopi milik ayahnya. Persediaan kopi Tri-City dibatasi karena sulitnya mengolah dan menanam tanaman kopi dalam jumlah yang cukup disamping makanan pokok.
Persediaan kopi itu mungkin hal yang sangat berharga bagi ayahnya, tapi kali ini tidak ada yang melarang Rin untuk meminumnya.
“Kalau ayah memang keberatan, tidak apa-apa. Kita bisa berbagi segelas ini” Rin meletakkan gelas itu di tengah meja makan. Ayahnya menelan ludah, membayangkan rasa cairan hitam lezat itu.
“Tidak, kau saja. Ini hari pembuktian, hari yang besar” Ibunya berdiri di belakangnya, memberi ‘tatapan maut’ pada ayahnya agar merelakan segelas kopi yang diminumnya.
Rin menghadap ke arah yang sama dengan ibunya, tidak sempat melihat tatapan itu. Ia menaruh buku fiksi usang yang terbit pada tahun 1978, dan ditulis pada 1920-an di atas meja. Pikirannya terlalu penuh untuk membaca novel melayu itu. Ia suka buku, semua jenis buku. Mungkin karena membaca memenuhi pikirannya dengan kosakata daripada
Suara bel dari bus di depan gedung itu memecah sepinya subuh, Rin berdiri dari kursinya dan mengambil tas keperluan juga jaket sekolahnya yang berwarna hijau tua. Ibunya tiba-tiba memberi pelukan khawatir, gestur yang jarang ditunjukkan dalam keluarganya.
“Hati-hati” Rin tersenyum setengah bangun saat ibunya menepuk pundaknya lembut. Selanjutnya giliran ayahnya. Rin tidak pernah begitu dekat dengan pria setengah botak itu. Mereka bersalaman tangan ala orang tua dan anak.
“Jadi... Lena belum telefon?” Rin memecah kecanggungan. Ayahnya menggeleng, tiba-tiba maju selangkah untuk memeluknya. Tidak selembut ibunya, tapi pelukan adalah pelukan. Tidak pernah diingatnya kalau keluarga ini bisa sedekat itu.
Sebuah pemikiran aneh, Rin merasa seperti anak kecil yang mendapat gula-gula. Hal ini sangat jarang terjadi padanya. Jika dihitung berapa kali ia tahu orang tuanya memeluknya, hitungan itu hanya sampai ke angka tiga atau empat.
 “Aku harus pergi, aku akan pulang minggu depan, kalian tahu itu” Rin mencoba menghapus kecemasan di ekspresi ibunya. Apa yang baru saja dikatakannya merupakan opini atau hipotesis belaka, bukan fakta. Ia tahu itu dalam dalam.
“Ya, jangan lupa gosok gigi sebelum tidur” Ibunya membukakan pintu untuknya. Hal ironis untuk dikatakan sebelum anaknya berangkat untuk pembuktian, Rin bisa saja tertawa tapi kali ini tidak karena nada yang dipakai ibunya membuatnya ikut cemas.
Perjalanan dari lan\tai letak apartemennya menuju bus terasa lebih dingin dari biasanya. Diikuti dengan peserta lain yang tinggal di gedung yang sama.
“Rin-Rin!” Dennis menyapa sebelum menguap. Dennis dan Frida berdiri di depan pintu bus, menunggu sepupu mereka yang tak kalah mengantuknya masuk ke dalam mesin transportasi lamban itu.
“Dennis... Frida...” Rin memberi mereka salaman khas mereka bergantian lalu masuk ke dalam bus bertingkat berwarna hitam itu. Seketika udara dingin terasa meninggalkan tubuhnya, penghangat ruangan rupanya salah satu fitur pada bus tua itu, masih berfungsi pula.
“Ibu tadi sedikit aneh, ya Den?” Frida menemukan tempat duduk untuk tiga orang lalu duduk dengan lebih tidak teratur dari biasanya.
“Ya, Ibu kami tadi benar-benar menangis. Menangis sungguhan, Rin. Dengan air mata, dan ingus pun” Dennis mengajaknya masuk dalam diskusinya dengan saudara kembar fraternalnya.
“Ingus?” Rin mengerutkan dahi, tapi hampir tertawa.
“Menjijikkan, Den” Frida bersandar pada kursinya mencoba tidur sejenak. Tidak biasa mereka bangun sepagi itu. Satu-satunya kejadian dimana mereka bangun lebih pagi dari pada pukul enam pagi adalah waktu seluruh kota dilanda mati lampu tiba-tiba untuk pertama kali. Pembangkit listrik, seperti infrastruktur mereka yang lain tidak dalam kondisi sebagus waktu mereka pertama kali dibangun.
“Ibuku juga tadi sedikit aneh, ayahku juga. Mereka... memelukku” Rin melanjutkan ke kalimat terakhir seolah kata itu terlarang untuk dikatakan. Lebih tepatnya, kata itu terasa menyangkut di antara langit-langit mulutnya, menunggu untuk keluar.
“What? Serius? Paman Herman? Memeluk?” Frida berhenti menyandar ke belakang, penasaran. Sepertinya yang Rin bicarakan merupakan fenomena langka dalam keluarganya.
“Ya, tapi tanpa ingus” Rin membuat lelucon di sela-sela kantuk mengajaknya untuk menutup mata lebih lama. Ketiganya tertawa singkat, lalu menjadi diam saat kantuk memenangkan mata Dennis dan Frida.
Beberapa anak lain juga tertidur, membawa suasana hening menenangkan selaras dengan jalannya bus yang lembut meski jalanan yang dilalui sudah pecah-pecah aspalnya. Maklum karena aspal itu tidak pernah diganti sejak runtuhnya negara lama, dan aspal merupakan bagian dari produksi minyak bumi (habis). Rin selalu penasaran tentang seperti apa negara lama sebelum terpecah belah.
Ia ingat waktu di sekolah, kelasnya diajarkan tentang sejarah, salah satunya adalah tentang negara lama. Ada satu kata yang sangat aneh dan lucu baginya, ‘pop’ adalah kata itu. Sebuah video klip musik yang tidak memiliki hubungan baik dengan usianya, ditunjukkan pada seluruh kelasnya oleh guru favoritnya. Video itu dibuat empat puluh tahun lebih bahkan lima puluh tahun lalu, sebelum negara lama terlalu kacau untuk ‘pop’. Orang-orang bertubuh kurus dan kencang, memakai pakaian heboh berwarna-warni dan terlalu banyak bahan kimia (make-up) di wajah mereka. Menari gerakan synchronized dan bernyanyi, nyanyiannya tidak begitu mengesankan. Yang paling menonjol bagi Rin adalah ke-hedonisme-an yang video klip itu pancarkan. Ia menghela, lelah berpikir lalu menyerahkan perhatiannya kembali ke jendela.
Pemandangan di luar jendela berubah perlahan. Dari gedung-gedung apartemen yang tidak bercat dan mulai retak di sana-sini, lalu gedung-gedung agrikultur dan greenhouses dimana Tri-City menumbuhkan makanan, obat-obatan dan menernak hewan, kemudian filter udara yang menjulang seperti tiang-tiang tinggi. Tingginya filter-filter di tengah reruntuhan itu menyebabkan bayangan-bayangan memanjang di sekitarnya. Sekilas melewati gedung pertama dan panel-panel surya pembangkit listrik, lalu pada tengah-tengah hamparan reruntuhan dan panel surya, bus berhenti.
Setahunya, tidak ada pemilik kendaraan pribadi di Tri-City, jadi dari mana kemacetan itu? Tidak ada kendaraan pribadi kecuali sepeda untuk tiap-tiap orang yang mengajukan permintaan untuk sepeda. Kebanyakan meminta sepeda pada usia tujuh atau delapan.
Deretan-deretan bus dari semua Sub City sedang dalam posisi stagnant, seperti menunggu. Mesin bus itu dimatikan. Rin mengerutkan dahi lalu melihat jam tangan pada pergelangan Frida. 07:18 terbaca berkedip-kedip. Sebuah bus berwarna hijau yang lebih kecil berhenti di suatu titik di antara panel-panel surya yang tersebar.
Banyak anak yang terlalu mengantuk untuk peduli dan beberapa bangun dari tidur singkat mereka. Rin melihat keluar jendela untuk hal yang tidak biasa, dan tidak menemukan satu pun kecuali bus hijau dan sejumlah pria dan wanita berseragam hitam dan putih mendekati busnya dan bus-bus lain di depan bus itu.
Tangannya secara refleks mengguncang-guncang kedua sepupunya, membuat mereka mengeluh dan mengucek mata dengan cepat.
Bagaikan refleks, mereka bertiga merapikan cara duduk mereka dan merapatkan jaket hijau mereka. Pria berkacamata berseragam hitam dan putih memasuki bus mereka, langkah kaki bersepatu barunya memenuhi bus hening itu.

“Alma! Alma! Al Al Alma...!” Arvin menggoyang-goyang kakaknya dari tidurnya. Gadis itu bergeming, hanya mengecapkan mulutnya beberapa kali dalam kondisi masih tertidur. Arvin berlari ke seberang kamarnya, menyiapkan segala hal yang diperlukan di pembuktian baginya dan Alma juga.
Bel bus untuk mengantar mereka berbunyi, menandakan bus itu akan berhenti di depan gedung. Ayah mereka hanya dapat membantu menyiapkan, tidak berdaya membangunkan putrinya yang sedang tenggelam di dunia mimpi tanpa kemungkinan mudah bangun.
“Seharusnya aku bangun lebih pagi, tapi aku tidak bisa membangunkan kalian. Jadi maaf, ok? Hapus kerutan di dahimu itu, Vin” Ayahnya mengusap matanya dengan punggung tangan. Arvin hanya mengangguk dan kembali berjuang membangunkan Alma.
“Hanya saja pembuktian akan memakan banyak energi, kalian akan butuh banyak tidur” Lanjut pria yang mulai tumbuh rambut abu-abunya itu. Yang ia baru saja katakan hampir saja melewati batas tentang peraturan transparency menyangkut pembuktian penduduk.
“Ya, aku tahu, yah. Tidurmu tidak terganggu bukan?” Arvin bisa saja mengatakannya dalam nada sarkastik, tapi tidak. Keluarganya terlalu dekat dan berharga buatnya untuk sarkasme. Arvin ,Alma dan ayah mereka memang sangat dekat sejak ibunya dikeluarkan dari kota karena memberontak tentang sesuatu yang menyangkut hubungan Tri-City dengan daerah pemberontak negara lama yang lain, bukan topik yang ia ingin cari tahu. Ia menghembuskan napas berat memikirkan itu.
“Apa? Apa? Jam berapa?” Alma hampir berteriak saat bangun, membuat Arvin terkejut dan ikut berteriak. Ia melempar tas berwarna hitam-biru dan sebuah jaket berwarna biru tua pada kakaknya, lalu dengan bingungnya berputar sekitar dapur, mencari sesuatu.
Dahinya mulai berkeringat meskipun hawa subuh masih menggelitik kulitnya dengan dingin. Tangannya sedang frantic membuka dan menutup laci-laci yang dapat digapainya, ada dua laci yang harus digapai sambil menjinjit. Ia mengerang kesal dibalik deretan gigi sehatnya yang ditutupnya rapat.
“Vin” Ayahnya menepuk pundaknya lalu memberinya sebuah buku tulis yang penuh dengan tempelan-tempelan kertas foto copy, dan tulisan-tulisan keritingnya. Ia menghela napas lega lalu memeluk ayahnya erat-erat, berterima kasih dalam bentuk fisik. Ayahnya membalas pelukan itu, hal yang biasa mereka lakukan. Alma muncul dari dalam kamar tifur yang dibagi dua itu, lalu memberi ayah dan adiknya sebuah bear hug.
Bel bus itu berbunyi lagi, tanda keterlambatan mereka.
“Jaga diri kalian” Ayah memegang tangan putrinya erat-erat, tidak ingin melepas dalam pikirannya. Bel itu berbunyi lagi, Alma mendesah kesal lalu mencium pipi ayahnya dan berlari keluar pintu. Arvin hanya bisa mengikuti dengan kecepatan yang lebih pelan, sesekali melihat ke belakang ka arah ayahnya.
Tanpa diragukan, ia takut. Takut karena pembuktian tepat di ujung hidungnya, dan sebagian takut dengan semua perasaan campur aduk yang mendidih dan terasa berputar-putar di perutnya.
“Kau akan baik-baik saja, Arvin. Berangkatlah” Pria itu memaksakan senyum ke wajahnya, memalsukan rasa aman pada putranya yang mulai berjalan lebih cepat, tapi masih menghadap padanya. Bel itu berbuni lagi.
Arvin menatap wajah ayahnya, tersenyum lalu berlari ke arah yang sama dengan Alma. Di dalam pikirannya ia berteriak, telah mengetahui rasanya kehilangan anggota keluarganya karena kebijakan tentang Evicted Citizens ( kebijakan yang mengatur pengusiran penduduk yang melanggar peraturan atau gagal dalam pembuktian).
Melihat Alma berlari kikuk menuju bus, dengan tas terisi penuh hingga titik berlebihan di punggung Alma dan jaket merah kakaknya yang terbalik, ia berpikir apa yang ada dalam pikran gadis itu. ‘Mungkin tentang tidur’ pikirnya dangkal.
“Terima kasih sudah menunggu” Arvin mengangguk sopan pada sopir bus yang terlihat sama mengantuknya dengan anak-anak di dalam bus itu. Wanita di belakang setir itu mengangguk balik dan bibirnya menekuk ke atas di bagian ujung-ujungnya, hanya beberapa milimeter senyum.
“Erik...” Alma mendahuluinya duduk di sebelah anak laki-laki yang secara mengejutkan, masih terlihat segar dan sedikit rapi di jam tidak biasa ini. Arvin mengerutkan dahi, heran ‘bagaimana dia selalu dandan?’. Lebih tepatnya menyisir rambut dengan benar dan mandi pagi yang lebih lama dua menit.
“Kau kenapa, Vin?” Erik dan Alma bertanya hampir bersamaan. Arvin memastikan pada mereka jika ia tidak apa-apa, terlalu cepat hingga mereka tahu ada yang menganggu dalam pikiran bocah berjerawat itu.
“Hey, lihat, Una. Itu adikmu bukan?” Salah seoranga anak yang duduknya entah dimana dalam bus menunjuk ke luar jendela, ke arah gadis kecil berpita pink dan berpiama biru muda. Pipi gadis itu terlihat meggoda untuk dicubit. Seketika Una menyyenggol Arvin untuk melihat keluar jendela.
Una menghela lebih ke arah haru saat terlihat adik kecilnya melambai dengan polos, di belakang gadis kecil itu berdiri beberapa orang tua peserta pembuktian dari sekitar blok itu, melambai dengan beragam energi ke arah anak-anak mereka masing-masing.
Ayah Arvin dan Alma berdiri di dekat bibi Erik di bawah pohon kurus depan gedungnya. Hanya mendekapkan tangan di depan dada dan tersenyum lemah ke arah anaknya.
Bus mulai berjalan, pertama secara perlahan, lalu menambah kecepatan lama-kelamaan. Tapi kecepatan itu masih terhitung lamban dalam level tinggi dibanding dengan kendaraan-kendaraan berbahan bakar bensin beberapa dekade lalu.
“Sangat cepat” Alma mengingau di pundak Erik. Mungkin mencoba mengatakan betapa cepatnya mereka berisap dari tidur hingga ke bus. Tapi bagi Arvin, artinya betapa cepat dari awal hidupnya hingga ke masa penentuan ini. Pemikiran yang sungguh terlalu dalam.
“Bagaimana kau bisa serapi itu? Sepagi ini?” Arvin mengalihkan perhatiannya sendiri ke Erik. Anak laki-laki itu hanya mengangkat bahu dan tersenyum ke arahnya.
“Aku tidak tidur tadi malam” Jawab Erik sambil menghela.
“Ironis” Arvin tertawa lelah, menunjukkan giginya yang belum sempat ia gosok.
“Huh?” Erik terheran pada pernyataan tidak jelas itu.
“Oh... aku mengerti dimana lucunya” Lanjutnya sebelum tertawa, matanya tertutup jika tertawa, meskipun hanya tertawa ringan. Ironis karena ia tidak dapat memaksakan matanya untuk menutup lebih lama daripada beberapa detik semalam, sementara Alma tidur hampir seperti mayat dan sekarang masih menggunakan pundaknya sebagai bantal.
Mereka berhenti bercakap-cakap saat pemandangan di luar jendela bus terhampar pantai putih yang luas dan laut biru yang cukup bersih. Beberapa kapal nelayan berlabu, menghias pemandangan di pandangan peripheral mereka.  Meskipun ketinggian air laut sudah lebih tinggi dari seratus tahun hingga lima puluh tahun lalu, pantai itu masih terselamatkan keindahannya.
Saat di kelas enam, semua sekolah di seluruh Tri-City mengadakan perjalanan rekreasi ke pantai Kota Barat itu. Ia mengingat sesaknya pantai itu terlihat saat diserbu ribuan anak-anak yang tidak pernah melihat pantai sungguhan selama hidup mereka. Anak-anak Kota Pusat dan Kota Selatan.
Sekarang orang-orang bisa menaiki bus tiap bulannya ke pantai itu, tapi hanya sedikit memiliki waktu untuk melakukannya. Terkadang Arvin, Alma dan Erik berjalan ke pantai, lalu bermain air atau memancing hingga sore. Belakangan ini pikirannya terlalu penuh untuk pantai.
“Kita harus pergi ke sana” Erik menunjuk ke arah bentangan pasir dan laut itu, lalu merangkulkan tangan kirinya di pundak Alma.
“Setelah kita kembali, tentunya” Tambahnya cepat, terdengar sedikit cemas. Ya, mereka mungkin pergi ke pantai setelah pembuktian. Tapi pembuktian masih menghantui tepat di depan mata, liburan jadi terdengar sedikit absurd. Tetap saja Arvin setuju tanpa pertanyaan.
“Ya, sudah lama kita tidak ke sana” Alma tiba-tiba bangkit dan menyahut.
“Whoa! Aku tidak tahu kau sudah hidup lagi” Erik menggoda.
“Aku terbangun meski masih tidur” Alma tersenyum, setidaknya berusaha menyombong dengan sentuhan gurauan.
“Ironis” Arvin tertawa hanya bersama Erik.
Lama kelamaan mereka bergurau, makin cepat perjalanan lamban itu terasa. Matahari pukul tujuh pagi mulai terasa bagi mereka yang duduk di tepi jendela, meski tidak panas, terik itu terasa hangat.
Pemandangan yang jarang mereka datangi. Reruntuhan bangunan-bangunan yang dibangun beberapa dekade lalu, di sekitarnya ‘tumbuh’ berderet-deret panel surya atau mungkin hanya kaca yang super berkilau dan sebuah menara tinggi menjulang di tengah-tengah hamparan itu. Deretan bus-bus lain mulai berhenti di depan busnya, sejumlah wanita dan pria berseragam hitam putih berjalan sepanjang deretan itu.
Setiap bus di depannya dimasuki satu orang pekerja pemerintah. Seorang wanita berambut pendek dan memakai sepatu yang tergolong sepatu lari. Kombinasi yang aneh, seragam kerja dan sepasang sepatu olah raga.
Seluruh isi bus menjadi diam, bukan semacam diam yang menenangkan, lebih ke arah canggung dan tegang. Karena pekerja pemerintah mendatangi tempat tinggal penduduk, biasanya itu menandakan seseorang dari tempat itu akan dikeluarkan dari kota.
“Pagi” Sapanya mengangguk penuh keseriusan. Arvin dan Erik menggenggam tangan masing-masing erat, beberapa detik kemudian mereka sadar apa yang mereka lakukan dan melepas tangan satu sama lain dengan cepat. Alma menahan tawa di balik mimik serius.
“Aku Kara NK. Bagi siapa yang merasa dipanggil setelah ini, harap berdiri” Kara memberi mereka senyum kecil di tengah mereka sedang tegang. Ia terlihat jauh lebih muda saat tersenyum, usianya baru saja sembilan belas, tapi seragam itu membuatnya terlihat jauh lebih dewasa.
“Adam RD” Panggilnya, seorang anak yang memakai jaket merah sebagai ikat kepala berdiri. Kara mendekat dan memakaikan sebuah alat menyerupai gelang, terbuat dari semacam besi dan memiliki layar kecil tidak berwarna di bagian depannya. Anak itu memejamkan mata dan menghela lega, lalu duduk lagi.
“Arvin AV” Arvin berdiri cepat, terlalu cepat. Tanda bahwa ia gugup, tangannya kembali menggapai-gapai di belakang punggunya. Mencari sebuah tangan untuk dipegang, Alma menggandeng tangan adiknya, terasa basah oleh keringat.
“Pakai ini selama tujuh hari di pembuktian penduduk, jangan khawatir tentang air. Alat ini waterproof” Kara melanjutkan pelan.
“Alma AV” Dengan ragu Alma berdiri, mengulurkan tangannya. Menunggu wanita bersepatu olah raga itu untuk merogoh ke dalam tasnya mengambil benda yang serupa.
“Pakai ini selama tujuh hari di pembuktian penduduk, jangan khawatir tentang air, alat ini-”
“waterproof, aku mengerti--- Bu” Jawab Alma dengan formalitas tidak diperlukan.
“Ok, kau boleh duduk sekarang” Alma menurut dengan pengaruh rasa takut.
Jutaan pertanyaan melintas seribu kilometer per jam di kepala Arvin, saking cepatnya pertanyaan itu hanya terwujudkan dengan mulut terbuka yang tidak mengeluarkan suara. Tidak mengetahui sesuatu memang mengganggu sekali buatnya, terutama jika hal itu menyangkut penentu masa depannya.
“Mohon tunda pertanyaan kalian hingga tiba di Gelanggang Bendung, terima kasih perhatiannya” Setelah selesai membagikan alat itu, Kara turun dari bus dan berjalan menjauh dari pandangan anak-anak itu.


No comments:

Post a Comment